Showing posts with label Life Lessons. Show all posts
Showing posts with label Life Lessons. Show all posts

Saturday, March 16, 2024

The Path to Paradise

 




Jannah is not earned only by pray. I'm so aware, the path to paradise is hard, really really hard. I know I need to work hard for it. But with a righteous spouse, the one who work hard everyday to give me a comfort living, the one who will be the calmness of my heart, with him by my side, live together in an atmosphere of harmony, it become easier helping each other to Jannah, insha Allah ❤


(5th day of Ramadan 1445H)

Tuesday, July 11, 2023

Menerima Kehilangan

 

Manusia selalu butuh waktu untuk mencerna & memahami apa yang telah lalu & apa yang sedang terjadi saat ini. Apalagi ketika menghadapi momen kehilangan.







Sesederhana kehilangan barang kesayangan saja, baperku bisa berhari-hari, apalagi kehilangan sosok manusia yang sangat melekat dalam hidup, kehilangan pasti akan menjadi sangat terasa. Rasa sesaknya berbeda, sebab kita memiliki ikatan dan kenangan dengannya. Makin terasa sesak saat kita tahu, esok hari, kita tak bisa menemuinya lagi di tempat yang sama. Seseorang yang begitu berarti dan punya peran penting dalam hidup.


Kalau diingat-ingat lagi, barangkali, hampir setiap hari manusia pasti melalui kehilangan-kehilangan kecil. Terkadang kehilangan semangat, juga kehilangan rasa nyaman, ada pula yang kehilangan keakraban, kehilangan kebersamaan, kehilangan nikmat sehat, kehilangan nikmat lapang, kehilangan momen-momen penting dalam hidup. 


Kehilangan-kehilangan itu akan membuat manusia berubah. Ada rasa sedih, terluka, sesal & sederet perasaan lain yang membuat kita disuatu waktu hanya ingin hening dan tak ingin hal yang sama terulang.


Padahal yang sering terlupa, kita tak selalu diberi pengingat. Yang sering terlupa, orang tua atau orang-orang terdekat kita juga sewaktu-waktu akan pergi. Yang sering terlupa, bisa jadi kita yang mendahului. Tak ada yang tahu. Barangkali, kita baru akan menyadari arti kehadiran masing-masing ketika umur sudah tak lagi tersisa.


Dan tiap kali mendengar kabar kepergian seseorang, aku sedang merasa diingatkan.


Dua tahun lalu, adikku kehilangan putranya, keponakanku. Dia pergi tepat dua belas jam sejak kelahirannya. Anak pertama yang tak sempat adikku lihat dan sentuh untuk pertama dan terakhir kalinya, yang esoknya baru bisa ia temui dalam kondisi dan di tempat yang berbeda. Perih sekali melihat pertama kalinya sosok yang ceria itu menangis deras, matanya berangsur jadi telaga, apalagi istrinya. Aku bahkan tak sanggup membayangkan rasanya jika itu terjadi padaku. 


Mendengar kabar berpulangnya ibu dari seorang kawan karib yang dahulu rumahnya sering ku kunjungi, juga tak kalah perihnya. Duh… rasanya pun tak kan cukup hanya dengan menemani hari berdukanya saja. Ibunya teramat tulus pada kami kawan-kawannya. Dan aku masih mengingat jelas nikmatnya bakwan jagung yang selalu ia buatkan untuk kami ketika kami berkunjung.


Belum lagi, ketika melihat saudara yang sehari sebelumnya baru saja ku tengok di rumah sakit dengan kondisi membaik. Lega hati. Tak terpikir sedikitpun ia akan pergi, hingga kemudian kabar duka itu mendadak datang sehari setelahnya. Hati berdebar kencang. Lagi lagi aku diingatkan. Ternyata sehat dan membaik pun tak cukup menjamin panjang usia manusia.


Apalagi ketika aku mendengar kabar berpulangnya ayah yang sangat dicintai oleh teman baikku, Ira, justru berhari-hari setelah kepergiannya. Ia bisa sekuat itu menyimpan dukanya sendiri dan membuatku sangat menyesal tak bisa menemaninya. Seketika aku merasa begitu abai padanya. Padahal ia yang dahulu selalu menemaniku melewati masa-masa patah hati.


Pernah patah hati saja, pilunya tak pernah sampai sedalam itu, sebab menikah & jatuh cinta ternyata cukup menyenangkan juga. Sementara, kehilangan seseorang yang sosoknya melekat dalam hidup, barangkali rasanya porsi ikhlas itu sudah habis tak bersisa.


Aku sangat bersyukur, ayah ibuku, bapak dan ibu mertuaku, keduanya masih ada dan sehat. Begitupun suami dan anak-anak. Aku mungkin tak akan sekuat itu melalui duka jika kehilangan mereka. Memang sulit rasanya berprasangka baik akan sebuah kehilangan. Namun, lagi lagi aku merasa terus diingatkan bahwa mereka adalah satu dari sekian banyak wujud sayang-Nya padaku yang suatu saat akan ia ambil kembali. Sebab, ya, tak ada yang benar-benar aku miliki di dunia ini, melainkan hanya DIA.


Aku hanya berharap, setiap kehilangan kecil yang pernah aku lalui dan kehilangan-kehilangan berikutnya yang pasti akan aku alami, menjadi pahala untukku, menjadi ampunan untukku dan untuk mereka yang telah pergi. Menjadikanku semakin dekat dengan-Nya dan menjadi sebuah kebaikan untuk mereka yang ditinggal pergi. 


Sebab, kepunyaan Allah lah segala yang ada di bumi dan langit. Dan kepada Nya lah dikembalikan segala urusan ~


Teruntuk orang-orang terdekat yang telah mendahului : Mbah Joyo Taruno & Mbah Warti, Mbah Legiman & Mbah Siti Maryam, Ika Farizta, Mbak Karni, Mbah Yati dan keponakanku Omar Pasha.


Terima kasih pernah ada di sisi ~

Wednesday, July 5, 2023

Memaknai Rumah







Setiap manusia pasti memiliki kisah masa lalu. Sebagian menjadi cerita yang sangat membahagiakan, sebagian menjadi kisah penuh pembelajaran dan sebagian lagi mungkin sedang berusaha dilupakan. Perihal berlapang hati dan menemukan titik keseimbangan yang tepat, semua ada waktunya.


Aku akan memulai cerita hari ini tentang rumah.



Ada hal yang selalu terkenang ketika bercerita tentang rumah. Bertahun-tahun menempati rumah dimana aku dibesarkan, bertahun-tahun menempati rumah di dekat kampus, bertahun-tahun menempati rumah dengan akses transportasi terbaik menuju tempat kerja, bertahun-tahun juga menempati rumah setelah aku berkeluarga. Rumah yang aku maknai lebih dari sekedar hunian dengan atap, melainkan juga tempatku berteduh dan bertumbuh.




Bersama teman-teman 


                   
Belajar bersama
             


Bayi-bayi yang tumbuh bersama







Tertawa bahagia



Rumah Kedua 




Aku menghabiskan masa muda di kota kelahiranku Balikpapan. Kami menempati sebuah rumah dinas berukuran cukup besar dan tinggal berpindah-pindah meskipun berada dalam satu kota yang sama. Ayah akan menyesuaikan tempat tinggal kami dengan lokasi sekolah kami saat itu. Tak jauh dari sekolah dan fasilitas umum seperti rumah sakit dan tempat makan. Seingatku, kami dua kali berpindah rumah selama aku SD, sekali saat SMP dan sekali saat SMA. Untuk sampai ke sekolah, kami cukup berjalan kaki. Bersama beberapa teman, aktivitas berjalan kaki menuju sekolah jadi terasa menyenangkan. Sepanjang jalan aku merekam apa yang ku saksikan, mengambil semua hal yang menyentuh hati dan menyimpannya dalam memori. Bertahun-tahun kemudian baru kusadari mengapa aku menyukai aktivitas berjalan kaki dan cukup kuat berjalan jauh. Sebuah kegiatan kecil yang membuatku acapkali menemukan ‘rumah’, menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergemuruh di kepala.



Sama halnya ketika aku kuliah & bekerja di Surabaya. Aku mengalami beberapa kali pindah tempat tinggal. Tahun pertama tinggal di asrama mahasiswa, cukup memberiku banyak pengalaman. Pahit, manis, asin, gurih, duh… aku berhutang budi banyak dengan asrama. Di tempat itu, aku melewati fase mandiri. Pertama kalinya belajar menyediakan makan untuk diri sendiri. Pertama kalinya naik kendaraan umum. Anak cupu yang tak bisa memasak, tak pernah kemana-mana sendiri, dipaksa oleh keadaan untuk survive mengerjakan apa-apa sendiri. Ya meski akhirnya tetap tak bisa masak 😁 setidaknya satu tahun pertama aku sudah cukup hafal kemana harus mencari makanan enak.



Tahun kedua dan seterusnya, aku sudah berpindah tempat tinggal lagi. Ke tempat yang menurutku lebih baik. Sama seperti ayah, aku mencari tempat tinggal yang lebih dekat. Dekat dengan rumah makan, tentunya. Sebagai anak rantau, urusan perut selalu nomer satu 👀



Setelah menikah, fase ini benar-benar mengubah peta hidupku. Tak hanya berpindah tempat tinggal, aku juga harus berpindah kota. Sebetulnya, aku cukup akrab dengan kota Solo. Hanya saja aku tidak terlalu cocok dengan makanan-makanan istimewanya seperti selat atau nasi liwet.


Sejak kepindahanku, malam-malam selalu terasa panjang. Aku ingin segera bertemu pagi. Ada banyak sekali kebiasaan dan perubahan yang aku rasakan. Ada banyak hal yang ingin aku lupakan. Tak sedikit pula yang ingin aku simpan rapat, ku kenang dan mungkin akan ku ulang. Bagaimana aku melewati fase beradaptasi dengan situasi dan kondisi orang-orang di sekitarku. Bagaimana aku bertempur dengan pikiranku setiap hari dan disaat yang sama aku belajar untuk pasrah. Bagaimana pada akhirnya aku melihat kehidupan dan banyak mengambil hikmah. Bahwa tak semua rumah bisa membeti rasa nyaman. Hari-hari itu pernah menyapaku. Hingga ditahun kelima, kami beranjak pergi. 



Pindah adalah keputusan paling tepat yang pernah kami buat saat itu.



Ada karakter baru yang aku sukai ada dalam diriku tiga tahun belakangan ini. Aku tegas dan sedikit galak untuk menolak sesuatu yang bertentangan dengan hatiku. Aku tetap menjaga komunikasi dengan orang-orang tertentu atau tidak berkomunikasi sama sekali dengan orang-orang yang mungkin saja memunculkan konflik. Aku tetap bisa berlaku baik terhadap orang yang ku tau tidak menyukaiku bukan karena aku tak mampu melawan itu sendirian, tapi aku lebih memilih menggunakan energiku untuk memenangkan hal lain. Aku tak perlu menunjukkan apa yang ku punya agar dianggap ada dan bisa diterima. Tak gundah pula dengan pencapaian-pencapaian dunia yang orang lain punya. I can take good care of my own self. Aku benar-benar telah menemukan 'rumah'. 



Sekarang, bisa dibilang, inilah fase terbaik dalam kehidupan kami. Ketenangannya, kenyamanannya. Aku merasa jauh lebih bahagia. Lebih mindful dan nyaman. Pergeseranku melihat soal rumah terjadi di sini. Bukan hanya tentang rumah yang rapi, tapi juga jiwa dan hati. Ketenangan beribadah, kenyamanan beristirahat. Hati dan raga benar tau apakah dirinya dijaga dengan sungguh-sungguh oleh pemiliknya. Aku merasa jauh lebih sehat. Melewati hari demi hari dimana keadaan kami jauh lebih tenang. Bersama tetangga-tetangga yang manis, aku memiliki cinta yang aku inginkan. Menjalankan hidup secukupnya dan apa adanya, tenang tanpa banyak distraksi. Bersama mereka yang ku sebut ‘rumah’.



Sebab, pada akhirnya, kita yang memutuskan akan bagaimana kita menjalani hidup. Orang lain boleh berprasangka tentang kita dan menilai kita sebatas hal-hal yang mereka bisa lihat dan ketahui. Tapi, percayalah, itu hanya asumsi. Satu-satunya yang paham betul bagaimana kita dan tau konsekuensi atas semua keputusan yang kita pilih ya kita sendiri. Yaaa minimal mereka yang benar-benar peduli :)



Aku selalu mengingat-ingat satu hal bahwa kehidupan di dunia yang sedang aku jalani saat ini tak lain hanyalah permainan dan senda gurau. Akan ada seseorang yang lebih baik dari kita. Tapi, bukan berarti kita tak bisa menjadi lebih baik. Berkompetisi cukup dengan diri sendiri aja. Sesekali memandang ke atas dan banyak memandang ke bawah agar tau arti bersyukur. Meneruskan perjalanan sambil terus belajar berdamai dengan kisah-kisah yang telah lalu.



Aku merasa kehidupan manusia tak akan selalu di atas untuk waktu yang lama, tapi juga tidak akan di bawah selamanya. Jangan terlena dan berusahalah merasa cukup. Agar ketika kita di langit, kita tak akan lupa menapak bumi yang pernah memberi kita ‘rumah’ beserta sebaik-baik pelajaran hidup di dalamnya. 

Friday, December 30, 2022

Tahun-tahun Penuh Kebaikan

 

Semalam, aku berusaha mengingat-ingat kembali, apa yang membuatku merasa tak berdaya, dalam tahun-tahun belakangan ini. Aku merasa perlu mengingat, agar tak jumawa.


Ooohhh… Kejadian yang cukup menghentakku itu. Aku meradang. Aku merasa bertahun-tahun semua yang kulakukan tak ada artinya. Ucapan kembali kasih pun tak pernah sampai ke telinga.






Padahal, beradaptasi dengan situasi baru, mengubah kebiasaan, banyak memaklumi bukan lah perkara mudah. Lalu aku masih dituntut untuk mengerti ? Aku, saat itu, ditahun-tahun itu, merasa muak menjadi orang yang selalu diberi peran untuk terus memahami.


Tak ada yang tau kekuatan hati manusia. Ada yang punya hati sekeras baja. Ada pula hati yang seakan terbuat dari kaca, mudah rapuhnya. Ada yang cepat memaafkan, ada pula yang memendam dendam dalam-dalam. Aku (?)


Lalu, aku mencoba sedikit menilik dari sisi yang berbeda. Jangan-jangan selama ini aku tidak sadar bahwa sebenarnya sedang tinggi hati. Bahwa aku angkuh & sedang bertindak sombong. Bukankah memaksakan agar sejalan & merasa benar sama dengan sombong dalam bentuk yang paling halus (?) 


Bertahun-tahun menyamakan perlakuan pada semua orang, aku pikir itu adil, ternyata itulah kesombongan !


Kesombongan yang menjadikan dua tahun ke belakang sebagai tahun-tahun penuh pembelajaran.


Bahwa setiap orang yang aku temui, benar-benar tak ada yang sama. Meskipun berasal dari garis yang sama. Mesti dihadapi dengan cara yang berbeda-beda.


Caraku menghadapi ayah, akan berbeda dengan caraku menghadapi mama. Caraku menghadapi bapak, akan berbeda dengan caraku menghadapi ibu. Caraku menghadapi kawan yang satu, akan berbeda dengan caraku menghadapi kawan yang lain. Sebab pola pikir & emosi mereka berbeda. Butuh strategi & kelapangan hati untuk tetap hangat & dekat. Butuh ikhlas & hati-hati. Agar aku tak salah melangkah. 


Betul, berganti tahun pun tidak akan lantas membuat luka itu lenyap. Aku tidak akan pernah membenarkan tindakannya. Sebuah tindakan yang bagiku sudah melewati batasan-batasan yang terbentuk dalam lingkar keluargaku.


Tapi, memaafkan selalu mampu menyembuhkan 🙃


Satu tahun ke belakang, menjelma menjadi tahun-tahun terbaikku. Aku merasa lebih baik. Jauh lebih baik. Merasa lebih lega. Tak mudah responsif untuk sesuatu yang bertentangan dengan hatiku. Melambat agar bisa melihat lebih dekat. 


Banyak nikmat & kebaikan mendekat & menjadi lekat. Ketenangan beribadah. Tetangga & lingkungan yang baik. Jauh dari bising. Hal-hal yang menjadi doaku sejak dulu. 


Belum lagi, seorang kawan lama dengan tulus hatinya kerap bolak balik ke rumah untuk mendekapku. Membawakan makanan kesukaan sepaket dengan bertubi kebahagiaan & lawakan. Menyiapkan untukku telinga & tempat dihatinya. Tak berlebihan rasanya kalau kubilang ia bagai kepanjangan tangan Tuhan.


Tak perlu lagi aku ceritakan berapa banyak kebaikan-Nya. Untukku, untuk suamiku & untuk anak-anakku. Makin meyakinkanku bahwa manusia lebih butuh ketenangan daripada kesenangan. Ketenangan saat memikul kesulitan. Ketenangan saat berproses menggapai hal-hal baik. Ketenangan yang hanya bisa ku rasa namun tak bisa dilihat oleh mata manusia lain.


Sudah tak ada marah hati. Namun, untuk berakrab-akraban kembali, ku rasa bukan sebuah keharusan yang perlu dipenuhi. Membatasi interaksi yang tak perlu. Menghindari hal kurang menyenangkan yang mungkin bisa kembali terjadi. Demi sebaik-baiknya ketenangan.


Keikhlasan memang tak perlu dipertontonkan. Termasuk keikhlasan menerima & memaafkan. Bukan untuk menghapus yang sudah lalu, tapi mampu mengingat luka itu dalam bingkai yang baru. Dengan hati yang lebih baik ~

Tuesday, February 22, 2022

Jiro Dreams of Sushi : Representasi Budaya Hatarakisugi di Jepang

 



Soal rasa, lidah ini memang agak sedikit kampung, sih. Seleranya lokal banget. Buktinya, sampai sekarang, aku nggak pernah benar-benar bisa menikmati Foie Gras. Norak ye, lol. Kalo disuruh pilih Foie Gras atau bebek Purnama, aku pasti pilih yang kedua.


Nah, masalah hadir ketika teman-teman pecinta makanan Jepang menang voting kala itu. Tau kan apa yang ku lakukan ? Ya kabur lah, lol. Melipir ke KFC sebelah kantor. Setelah berkali-kali nolak diajak nongkrong di Sushi Tei, akhirnya satu tahun sebelum resign, aku nyerah. Tetap saja, yang ku pilih mostly makanan yang matang. Salmon Mentai Sushi salah satunya. Eh, kok cocok, lol.


Jadi, hari ini aku akan berkisah tentang Jiro Ono. Aku ? Ya Ora Ono Apa-apa ne Karo De’e. Nggak gitu ding konsepnya, hehe. Pecinta sushi pasti tau siapa dia. Tapi bukan makanan di balik dapur Jiro yang ingin ku bagi ceritanya di sini, melainkan semangatnya & bagaimana ia teramat mencintai pekerjaannya.


(Source : Pinterest)


Jiro Ono diklaim sebagai Master Sushi terbaik di dunia. Usianya hampir mendekati satu abad. Orang lawas yang dikenal akan kecintaannya terhadap sushi. Baginya, sushi adalah karya seni. Hari-harinya sibuk, seperti tak menyisakan ruang untuk bernafas. Ia justru tak suka hari libur. Baginya, libur justru membuat waktu berjalan lambat. Ia hanya libur ketika tanggal merah. Layak kalo dirinya masuk ke dalam daftar kaum Hatarakibaci. Beda ya sama kite-kite yang senang banget kalo banyak libur, gak mau lembur, tapi tetap pengin fulusnya ngucur, lol.


Jepang adalah negara penganut kesempurnaan. Segala sesuatunya dituntut untuk praktik sempurna. Jiro Dreams of Sushi membuat penikmatnya jadi banyak tau bagaimana Jepang mampu mempertahankan nilai-nilai hidup yang mereka anut hingga kini. Bagaimana budaya mereka akhirnya berimplikasi pada lahirnya citra Jepang di panggung dunia sebagai negara yang disegani. 


Jiro tangguh sedari kecil. Bagaimana tidak. Ia berasal dari keluarga tajir yang kemudian hidupnya berbalik arah ketika bisnis ayahnya gulung tikar. Lalu hidup sendirian diumurnya yang masih tujuh tahun.


Awal ia menikah pun masih sama. Cuma punya 10 yen di tabungan. Coba deh rupiahkan sendiri, hehe. Pergi kerja sedari subuh & balik ke rumah ketika anak-anaknya sudah tidur. Waktu magang, ia hampir tak dibayar sama sekali. Lalu apa dia nyerah ? Oh tentu tydack sodara-sodara. Ia terus berusaha & mengulang hal yang sama setiap hari. Ingat ya, mengulang hal yang sama setiap hari. Memperbaiki sedikit demi sedikit, untuk membuat sushi terbaik.


Tekunnya gak ada ampun. Selalu level up his skill. Ia juga mendorong kedua putranya, Yoshikazu & Takashi, untuk belajar & bekerja di kedai sushi miliknya. Mereka berlatih dengan keras. Tiap hari, selama persiapan sebelum kedai dibuka, Jiro selalu mencicipi sushi yang mereka buat & duduk makan bersama dengan para asistennya.


Bahkan malam sebelumnya, ia selalu berdiskusi dengan putra pertamanya, Yoshikazu, tentang rencana esok hari. Apa saja yang diinginkan oleh Jiro. Belajar teruuus, sampai putra keduanya, Takashi, dipercaya mengelola cabang.


Sangking besarnya nama sang ayah, para pelanggan selalu beranggapan bahwa sushi terbaik buatan Takashi pun rasanya nggak akan mampu menandingi sushi buatan ayahnya. Biasalah kayak gitu. Ketika ada dua hal yang mirip atau sama, pasti langsung dibandingin & dicari-cari perbedaannya. Kalo disini, selain dibandingin, bonus dijulitin pulak, langsung deh kenak mental, lol. 


Jiro punya akses khusus dengan yang terbaik. Pemasok tuna & udang terbaik. Pemasok beras terbaik. Mereka memahami kebutuhannya & ia pun royal terhadap mereka. 


Ia paham betul ikan apa yang sedang musim. Bagaimana memilih, menyimpan & mengolahnya. Bagaimana memotong ikan, mana yang harus tebal & mana yang harus tipis. Bagaimana menyajikan ikan agar suhunya terjaga & rasanya nggak berubah. Bagaimana agar tekstur ikan tetap kenyal tapi tetap mudah dikunyah. Seberapa banyak wasabi harus disertakan. Untuk menyajikan nasi aja nih, nggak main-main. Nasi harus punya daya ikat yang cukup agar nggak tercerai berai, bulirnya utuh, nggak lembek alias padat. Padahal kalo udah dicaplok sama aja ya, haha.


Ia seorang perfeksionis. Selalu ‘keras’ melatih muridnya. Mental kuat akan membawa mereka dekat dengan keahlian level dewa seperti yang dimiliki Jiro, tapi kalo tidak, mereka pasti langsung kabur dalam sehari, lol. Mereka benar-benar dilatih dengan serius, nggak sekedar magang disuruh cuci piring doank. Bahkan salah satu pelanggannya ada yang kini menjadi asistennya. Berlatihnya nggak sebentar, bertahun-tahun.


Aku sepakat dengan statement Jiro : untuk membuat makanan enak, kita mesti nyoba makanan enak. Ia mengatur pengelolaan food product dengan profesional, cooking method yang sempurna, penerapan hygiene & food serving yang baik. Itu semua membuat sushi yang ia hidangkan membekas panjang dalam ingatan.


Memasak itu soal intuisi, menurutku. Kita bisa saja mencicipi masakan yang sama tapi bisa berbeda jauh rasanya. Sebab intuisi nggak bisa dicuri. 


Dan makanan tak pernah disajikan sendiri. Ia selalu hadir bersama dialog manusia & cerita inspiratif di baliknya. Jiro menularkan cinta & ketulusan. Bahwa semua orang bisa menemukan, memiliki kecintaan & menularkan kegembiraan atas apa yang sedang dikerjakan.


Long life, Jiro ~

Friday, December 10, 2021

Pijakan Pertama Memulai Kolaborasi


Menggabungkan banyak kepala dalam suatu pekerjaan atau dalam suatu forum diskusi artinya harus mampu saling mendengarkan & berkompromi satu sama lain.


(Picture by Pinterest)


Tiap orang punya peran masing-masing & sama pentingnya. Ada yang lebih unggul mengutarakan ide & ada juga yang lebih nyaman mengembangkan ide yang sudah ada. Melengkapi satu sama lain tapi juga tetap menampilkan ‘warna’ tiap-tiap individu tanpa mengaburkan warna yang lain. 


Santai berbincang sebagai teman, tapi juga bersedia menurunkan ego untuk mendengar ide dari yang lain. Sehingga kita bisa tau mengapa ada yang punya sudut pandang berbeda jauh dengan kita. Bukan perkara mudah. Apalagi secara pribadi, terkadang sulit bagi saya untuk ikut memberi ‘warna’, tapi semua bisa dipelajari. Sama-sama belajar & perlu terus konsisten berlatih.


Sudah beragam agenda dilalui bersama. Tapi di sisi lain, ikut bertumbuh sebagai individu itu yang paling penting untuk saya. Banyak aspek yang jadi terlatih, tiga di antaranya adalah kemampuan management, sosialisasi & skill komunikasi. Terutama terhadap orang-orang yang terlibat secara langsung.


Menurut saya pribadi, salah satu parameter kolaborasi yang sehat adalah adanya mutual respect di antara orang-orang yang terlibat & memahami betul apa tujuannya :)


Pada akhirnya, kolaborasi atau bekerja bersama bukan hanya tentang mencapai tujuan bersama, tapi juga belajar memahami satu sama lain.


Saya percaya kemampuan untuk saling menopang, sehingga kita bisa menikmati setiap proses sebagai bentuk apresiasi terhadap hal baik yang sedang & akan terus berlangsung. 




Best Regards, Arif H Purwono

(Yang dipaksa ibu negara untuk menulis)


Tuesday, July 21, 2020

Living, Loving, and Working at Home (when Quarantine) would be a Breeze for an Introvert


After few months of increasing anxiety about how dangerous Covid-19 was, the trill of staying at home where we safe and able work on assignment, made me believe that quarantine is the same meaning of much-needed break from everyday fast-paced and energetic routine. Especially for him. Even I know he felt a mixture of excitement and worry, lol


Well... from the first month of quarantine on March, the academy announcing the cancellation of all in-person classes, his work responsibility transitioned to an online format. Virtual discussion with his workmate or his students on WA chat, made of recorded lectures and then publish the files on the website. So far, it's easy enough for him.







Me ? I haven't had a problem not leaving the home, lol. So, as usual, I cleaned our pavilion everyday, I make our room feel extra cozy, I've created mini private kitchen behind our room, cooking sometimes, re-read my favorite book, all of tracks on Kenny G were unlocked and of course write on my personal blog.


Home used to be the place where we could recharge energy with solitude activity ~


Until someday, my extroverted friend decided to break the rules and go physically to see me. Tell me about how this pandemic forced her to stay at home for months even she has a beautiful pantry at home. Tell me about how her kids struggling with their online classes even every corner of her home connecting with Wi-Fi. It makes me think, why she need for interaction was so great, when it felt like she'd already found a way to handle it personally (?)


No, no. I'm not anti-social. I'm not shy, lol. I do enjoy social interaction too. Me personally just love to be a small part of a big conversation. Have no trouble to get more experience the outside world, I'm fine with it. Relax in a bookstore or coffee shop, to find a sense of normalcy again. But only by myself. Truly alone. Not in the same way that my extroverted friend do :)


It's made me realized that every personality (introvert, extrovert, or something between them), struggle with anxiety and processes it differently.


Not everyone is privileged enough to stay at home all along day and not everyone know how to best stay in touch with their friend online.  


Maybe an introvert doesn't always stay calm in difficult times and an extrovert could appreciate moment of quarantine.


But I think, living, loving, and working at home still would be a breeze for an Introvert :)

Wednesday, January 22, 2020

Keyakinan-keyakinan yang Tak Perlu Dikomersilkan


Beberapa waktu lalu, kami mengisi tangki bahan bakar mobil kami yang sudah mendekati 'garis' finish. Pada saat membayar sejumlah uang, entah kenapa mendadak saya agak memikirkan 'nilai' rupiah yang kami bayarkan. Uang seratus lima puluh ribu hanya menaikkan dua strip penunjuk BBM di speedometer ! Padahal beberapa tahun lalu, dengan jumlah uang yang sama, bisa digunakan untuk mengisi lebih dari itu.


Begitu cepatnya inflasi berjalan. Begitu banyak hal berubah, cepat atau lambat. Pelaku usaha makanan yang paling rentan menaikkan harga. Salah satu penjual di kedai makan langganan saya bahkan sempat berbisik : "Ayam gorengnya naik seribu, apa-apa serba naik". Cukup lega karena harganya masih masuk akal untuk para pekerja bangunan yang sering makan di kedai tersebut.


Sebab saya cukup yakin -makanan maupun bahan bakar- walaupun harganya selangit, tak akan pernah sepi, asal tetap menjanjikan 'kenikmatan' !




Friday, January 10, 2020

Menuju Tahun Ke Lima


Pernah nyaris tenggelam. Ombak hampir saja berkali-kali membalikkan kapal kecil kami dan mempersilakannya menenggelamkan hidup kami hingga karam. Tapi, kami bertahan. Berenang dalam ketidak-pastian akan datangnya pertolongan. Menggapai apapun sebisanya. Menggenggam papan kayu terdekat. Berpegangan. Bernafas walau tersengal-sengal. Bersama, berdua.

Dan kini bertiga....



Thursday, May 30, 2019

Membentuk Karakter Bukanlah Seperti Restoran Cepat Saji


Ada dua tipe manusia yang kurang aku sukai, yaitu orang-orang yang tidak mau menjaga kebersihan dan orang-orang yang menutup diri dari kebenaran. 


Orang-orang terdekatku paham, bahwa aku seorang CLEAN FREAK. Iya, persoalan sampah dan rendahnya kesadaran sebagian orang untuk menjaga kebersihan seringkali membuatku terganggu. Padahal, pesan-pesan moral kemanusiaan dan mandat untuk menjaga kebersihan juga menjadi bagian penting isi Al-qur'an. Sayangnya, masih ada orang-orang yang menganggap masalah kebersihan itu bukan bagian dari integral keimanan.









Di ruang tunggu bandara, misalnya. Beberapa kali aku duduk bersebelahan dengan orang yang enggan membuang sampahnya sendiri setelah nyemil atau minum hanya karena buru-buru masuk ruang tunggu. Meskipun bukan urusanku, aku langsung auto bete'. Walaupun ada petugas kebersihan, tapi itu kan sampahnya sendiri. Sesusah itu kah buang sampah di tempat yang semestinya ? Padahal, nggak sulit kok menemukan tempat sampah di ruang tunggu bandara. 


Jangankan ruang tunggu bandara yang jelas-jelas di luar rumah, aku pun sering menemukan orang-orang yang meskipun di rumahnya sendiri, terbiasa menumpuk sampah. Aku menyukai keteraturan, apalagi soal rumah. 


Membuang sampah sembarangan itu faktor KEBIASAAN yang tanpa sadar sering dilakukan. Kebiasaan yang dianggap sepele, tapi menunjukkan bagaimana KARAKTER kita yang sebenarnya. Padahal, sejak SD kita semua sering dicekoki dengan slogan "jangan buang sampah sembarang". Tapi realitanya, slogan itu kerap bertentangan dengan kehidupan kita sehari-hari. Kalo sudah begitu, ya moon maap, Bapak, Ibu, pembentukan karakter memang bukanlah seperti restoran cepat saji. Nggak bisa instan. Membentuk karakter itu butuh proses panjang dan peran serta orang-orang sekitar. Ketika karakter itu sudah terbentuk, biasanya akan sulit diubah. 


Begitu pula orang-orang yang menutup diri dari kebenaran. Intinya, ya, sama. Tapi, sekedar mengingatkan. Barangkali kita lupa. Bahwa kebenaran datang dari Yang Maha Kuasa. Bukan dari pikiran kita. Apalagi menilai kebenaran dan kebaikan seseorang hanya karena ia sudah lama tinggal di dunia. Sehingga kita seringkali abai terhadap perasaan orang-orang yang sebetulnya punya niat baik. Hanya demi menjaga perasaan orang-orang yang kita hormati, orang-orang yang kita anggap benar.


Well... Ketika kita sudah secara otomatis membuang kemasan bekas makanan dan minuman di tempat sampah sesaat sebelum boarding, ketika kita tanpa diperingatkan langsung membawa keluar sampah sisa makanan atau minuman setelah nonton bioskop, ketika kita nggak menyerobot antrean orang lain, ketika kita tidak abai terhadap perasaan orang-orang yang sebetulnya punya niat baik, ketika kita secara sadar melakukan hal-hal sepele yang dianggap nggak penting oleh sebagian orang. Tapi, tetap kita lakukan karena kita sadar itu tindakan yang benar, maka buatku itulah manusia yang berkarakter.


Btw... aku juga bukan orang yang auto benar, siiiih. Tapi, aku punya harapan besar, semoga kita nggak butuh proses yang panjang untuk menyadari. Sebab, sebaik-baiknya manusia yang berkarakter adalah mereka yang benar-benar sadar, memahami, menjalani, dan nggak menutup diri dari kebenaran ~

Tuesday, September 18, 2018

How Solo Living Changed My Life


Most of my growing up years were spent in a lovely town, a special place in my heart. Spent most of the best moment of my life in this little town. The place where the friends I make from childhood and the memories I share.


But now I'm not living there. 12 years ago, I'm leaving my old life. Packing my bags, bring lots of books, and jumping cheerfully on the plane that would take me from Oil City to The City of Heroes for a new step. I was really excited to live far away from my parents for the first time. Breathe, eat, and sleep in the same dorm room every single day with 3 strangers. I thought everything would be fine. But I was wrong.





Every night, I try my hardest to fall asleep. The sound of roommates laughing late into the night, their music playing, or their dirty laundry scattering the floor, aaarrrggghhh... that's so disruptive my sleeping time. Uncomfortable dorm life. I feel like there's no home for me. The first year away is hard in so many ways :(


So in the second year, I decided to move to a single-big room in a new place. I have complete control over my life. I also have the freedom to be alone. But a new problem arise ; I can't wash my own clothes and I don't know what to do that. I can't cook, I never went to the traditional market, I don't know how to keep my room neat and clean, I can't drive a car, and I didn't know how to take public transportation. At the dorm ? Simple, I paid someone to do all of that, lol. At my parent's home ? I never contributing significantly in the household work :(


In the new place, I got tired of feeling that I'm always dependent on someone. They are not always be there to help me for some time. Maybe it's oke if I still lived at my parent's home, but now I'm living far away from them. I realized I have to change. I had to know how do laundry, how to keep my room neat and clean, how to going anywhere with 'angkot', how to going on holiday alone.


Proud of myself, few years after that, I ride a bus for daily struggle in to work, lol. It's not easy but I can get through the struggle and being a pro after few months, lol. We just need to be brave...


I always miss my hometown. I always miss my childhood friends. But solo living was one of the best things I've ever done for myself. Thanks to my parents ! At least, after married, I know how to live in Solo without household personal assistant, lol. I know how to commute going to Mall for lunch dates with my friend, lol. Even sometimes I'm having a bad day with the chores around the house, I'm being able to take care of everything by myself. I'm consistently letting my dad know how the days I went trough and text every single of my childhood friend as often as possible.


Yeah... Solo living isn't always easy for me but it teaches me a lot. I'm stronger than I think, lol. I now appreciate and really grateful how solo living changed my life :)

Sunday, April 1, 2018

Nyaman Ngobrol Perihal Finansial Bareng Pasangan


Ngobrol seputar finansial memang selalu jadi isu paling sensitif bagi beberapa orang, termasuk dengan pasangan sendiri. Terutama soal penghasilan. Meski sebenarnya nggak ada salahnya juga untuk dibahas. Namanya juga hidup bareng, ya suka nggak suka harus bisa ngobrolin penghasilan dan pengeluaran tanpa gelut, dong ~


Sejak awal menikah, saya dan suami sangat transparan soal keuangan. Barangkali ada beberapa pasangan yang tidak cukup terbuka untuk hal yang satu ini. Padahal menyembunyikan sesuatu dari pasangan tuh bikin capek, lhooo. Sebab, bagi saya, persoalan keuangan dalam rumah tangga tak hanya berada di pundak suami atau hanya jadi tugas istri saja, melainkan tugas dan tanggung jawab bersama. Sehingga, terbuka itu penting. Mulai dari nominal gaji, income dari side job, list pengeluaran, harta bawaan, harta bersama, sampai harta perolehan. Loooh, loooh, berat ! Hahahaaa ~


Maka dari itu, awal bulan selalu jadi moment paling asyik kalo ingin ngobrolin soal keuangan. Suasananya masih adem. Ya iyalaaah saldo rekening baru nambah :))




Monday, January 22, 2018

Memberi Reward Untuk Diri Sendiri


Ada momen dimana kita ngerasa senang saat orang lain berlaku baik ke kita. Walopun dengan hal kecil, efeknya ke kita bisa besar banget. Ehm, tapi kita nggak bisa berharap orang lain untuk terus berbuat baik ke kita, kan ? Daripada menunggu, ada baiknya meluangkan waktu untuk menghadiahi diri.


Bagi saya, menghadiahi diri bukan perkara mementingkan urusan pribadi. Melainkan bentuk apresiasi atas usaha dan kerja keras yang sudah saya lalui. Berusaha mentreat diri sebaik mungkin. Memberi penghargaan untuk tubuh dan pikiran yang udah bekerjasama mewujudkan maunya saya. Bukan hanya ketika berhasil mencapai goals yang saya punya, tapi juga ketika hasil yang dicapai ternyata jauh di bawah ekspektasi saya.








Nggak harus menghadiahi diri dengan barang-barang branded, kok. Barangkali hal-hal sederhana ini bisa jadi pilihan untuk menghadiahi diri dengan lebih bijak :


  • Open Minded
Kita paham, manusia memang nggak diciptakan untuk hidup statis. Ada sisi hidup yang manis dan ada yang pahit. Ada kerja keras yang berhasil dan ada yang gagal. Saya rasa orang di luar sana pasti pernah ngerasain yang namanya 'gagal', apapun bentuknya. Begitu pun saya. Ada harap yang harus pupus, ada mimpi yang harus tenggelam. Saat itu saya hanya berpikir gimana cara agar saya ikhlas. Saya harus bisa menumbuhkan tunas baru. Saya nggak boleh fokus disitu-situ aja. Saya harus berdamai dengan diri sendiri dan membuka diri dengan hal baru.



Pikiran yang terbuka membawa saya pada sudut pandang baru untuk evaluasi diri. Ketika kita gagal dengan satu impian, kita tetap akan jadi manusia yang bertumbuh dengan impian lain. Kita akan tetap belajar memahami impian, memberi ruang untuk impian, belajar bersama impian, dan siap berjuang demi impian. It could be something that helps us evolve as a person. Never ending learning process inilah yang mengarahkan kita untuk memilih jalan hidup seperti yang kita inginkan.



  • Commited to Always Doing Good

Pemberian terbaik yang saya lakukan bagi orang lain selama hidup akan jadi 'bekal' perjalanan paling indah yang bisa saya beri untuk diri sendiri. Barangkali saya termasuk manusia yang gampang banget dibuat bahagia. Cukup dengan melakukan berbagai laku sederhana seperti menjaga jadwal makan, makan bareng sahabat, merapikan dan mempercantik rumah, belanja di pedagang pasar tradisional tanpa menawar, menyiapkan makanan terbaik, menyapa tetangga tiap kali bertemu, mengunjungi keluarga, memaafkan orang lain atas kesalahan yang terjadi di masa lalu, dan nggak lupa untuk mengucap terima kasih. Berusaha komit untuk selalu berbuat baik hingga kelak saya bisa menjawab bagaimana hidup saya berarti.



  • Bough Some New Books
Orang-orang terdekat saya tau kalo saya adalah orang yang impulsif terhadap satu hal : belanja buku. Pernah saya ke toko buku, mengambil 15 buku sekaligus dan menghabiskan nggak kurang dari 2 juta rupiah untuk itu. Saya butuh buku itu dan saya membelinya. Tapi juga kadang saya nggak punya alasan sama sekali saat belanja buku tertentu. Yaaa karena bagi saya, kita nggak perlu alasan khusus ketika menghabiskan sejumlah uang untuk sesuatu yang bisa kita wariskan. As simple as that :)



  • Be Thankful For Everything We Have & We Don't Have

Katanya, gagal tuh mendewasakan. Barangkali itu benar, se-nggaknya benar bagi saya. Apapun kegagalan yang terjadi dan segala hal saya miliki saat ini, itulah yang membentuk diri saya. Suami, keluarga, dan sahabat yang saya pilih menjadi tempat untuk mempercayakan banyak cerita. Dan apapun yang nggak bisa saya punya, saya anggap itu sebagai salah satu bentuk kasih sayang dan penjagaan diri saya oleh Yang Maha Kuasa. Tapi, kita nggak perlu gagal dulu kan untuk jadi dewasa. Pokoknya, banyak-banyak berterimakasih aja :)




Semoga kita nggak pernah lupa untuk berterimakasih pada diri sendiri, yaaa ~

Sunday, September 24, 2017

Mental 'Cash Payment' Garis Keras


Nggak hanya perempuan, ternyata para pria juga memiliki 'the essential must-have list' idaman mereka, lho. Entah itu mobil, motor klasik, smartphone, sneakers, postman bag, leather jacket, macbook, DSLR, jam tangan, atau barang-barang yang ada hubungannya dengan hobi untuk memenuhi gaya hidup atau hadiah bagi diri. 






Btw... obsesi manusia terhadap suatu barang tertentu memang kadang cenderung nggak masuk akal. Bisa kepikiran terus sampai barang yang diinginkan itu benar-benar dimiliki. Sebenarnya nggak ada yang salah dengan semua itu, sebab ada orang-orang yang ingin memiliki barang-barang tersebut memang sebagai sebuah simbol 'pengakuan'. Dan godaan terbesarnya adalah diskon dan promo cicilan.


I tell you, it's just another classic trap guys...

Wednesday, September 13, 2017

Skala Prioritas


Aku dan adik-adik dibesarkan dalam kultur keluarga yang selalu punya skala prioritas, sehingga barang-barang apapun yang kami beli pastilah sesuatu yang benar-benar berguna dan kami butuhkan.


Ayah termasuk tipe orang yang cukup royal. Tapi nggak berarti semua yang kami minta akan langsung dipenuhi. Salah satunya soal kebutuhan transportasi. Jaman kuliah dulu, ketika teman-teman yang lain berangkat ngampus dengan motor atau mobil, aku masih setia berjalan kaki. Padahal, jarak antara kampus dengan tempat tinggalku mayan jauh. Nggak masalah sebenernya, hitung-hitung olahraga :))








Setelah menikah, skala prioritas ku pun berubah. Kalo dulu bisa ngabisin 2 juta rupiah untuk belanja buku dalam sebulan, sekarang nggak bisa begitu. Agar semua kebutuhan primer ku, suami, dan seisi rumah bisa ter-cover dengan baik, aku harus mengesampingkan ego untuk belanja barang yang nggak ada urgensinya. Kalo kebutuhan primer sudah terpenuhi, baru aku akan beranjak belanja kebutuhan sekunder dan tersier. 


Ketika dulu smartphone masih menjadi bagian dari kebutuhan sekunder, buatku smartphone udah masuk dalam kategori kebutuhan primer. Hampir seluruh aktivitas ku terbantu dengan adanya smartphone. Berkabar dengan orang tua, silaturahmi dengan teman, sampai njawab e-mail di luar rumah menjadi mudah karena smartphone. Jadi, waktu hap mendadak rusak, aku merasa butuh buru-buru menggantinya dengan yang baru. 


Bersyukur... aku dan suami bukan pemuja barang mewah. Tapi, kami menyukai barang-barang berkualitas. Sehingga pilihan kami akan jatuh pada barang-barang yang harganya seimbang dengan fungsi dan kualitasnya. Selama barang itu bisa menunjang dan mempermudah aktivitas kami, juga akan digunakan dalam jangka panjang, nggak masalah kalo harus mengeluarkan budget lebih banyak untuk itu. 


Begitu juga memilih mobil. Buatku, mobil masuk dalam kategori long-term vehicle. Nggak mungkin setahun sekali ganti mobil, kan. Kecuali uang di rekening nganggur terus, hahaha. Kebetulan aku dan suami sering menggunakan mobil untuk perjalanan luar kota, jadi kami butuh mobil yang nyaman. Nggak perlu mewah, yang penting baik secara performa. Sehingga butuh banyak pertimbangan dan harus selektif memilih.


(Related Post : Point Penting Yang Wajib Diperhatikan Saat Membeli Mobil )


Sama halnya dengan penampilan. Baju dan sepatu yang nyaman itu penting. Nggak harus mengikuti tren mode, sesuai karakter aja. Meski kadang untuk mendapat kenyamanan dan kualitas yang sepadan, ada harga lebih yang harus dibayar.

Tuesday, June 20, 2017

Menikah & Punya Anak Itu Bukan Kompetisi


Sepanjang hidup, kita akan selalu berhadapan dengan 'kompetisi'. Mulai dari hal yang umum seperti kompetisi dunia kerja dan kompetisi bisnis, sampai hal yang sifatnya personal seperti menikah dan punya anak. Ya, nyatanya saudara atau teman sebaya yang lebih dulu menikah dan punya anak dianggap lebih unggul dibanding yang belum :)




Agustus tahun ini, saya dan suami masuk ke usia pernikahan kedua. Pertanyaan "udah isi belum" makin sering saya terima dari teman sebaya atau keluarga yang mungkin sudah punya anak lima. Nyinyiran dari orang-orang yang memantau kehidupan saya dan suami dari kejauhan. Sindiran dari orang-orang yang memang "bersebrangan" dengan saya. Mereka tau apa, sih :)

Tuesday, March 28, 2017

Untuk Mereka yang Memilih Tinggal Bersama / Selalu Dekat dengan Orang Tua


Ya, setiap manusia selalu dilahirkan untuk dihadapkan pada pilihan. Pilihan yang harus diambil dengan penuh kesadaran. Seperti mereka yang (setelah menikah) memilih untuk tetap tinggal bersama atau dekat dengan orang tua. Kerap kali dianggap takut mengambil resiko besar dan dianggap belum bisa mandiri dibandingkan mereka yang berani angkat kaki dan tinggal jauh dari rumah. Dianggap cari aman karena takut keluar dari zona nyaman. Padahal sebuah pilihan sejatinya diambil bukan tanpa resiko dan alasan......





  • Seiring bertambahnya usia kita, usia orang tua juga semakin menuju senja. Mungkin dulu mereka masih sanggup melakukan banyak kegiatan seorang diri, namun diusia senjanya tak bisa dipungkiri mereka pasti membutuhkan bantuan dari anak-anaknya dalam banyak hal. Karenanya orang tua tetap jadi prioritas utama dan salah seorang anaknya harus tetap tinggal untuk berjaga. Berbahagialah karena masih diberi kesempatan berbakti pada orang tua :)


Wednesday, February 15, 2017

Getting Married and Staying Happy in a Long Term Relationship


As you see, my husband had an amazing opportunity to pursue a Master Degree and he get to do his thesis for free which is pretty unbelievable. I also had a career in journalism for 3 years. We are currently living 170 miles away from each other as a best friend.


Like most people, I regularly asked some of my friend to share their advice from their own marriage on how they feel after entering into marriage and what happens the day after. Surprising me ! Some of their experience was scared me. They say don't expecting the marriage to solve of your problem but the marriage actually creating a new problem for your life. It's sound so complicated and annoyed me, huh !


Under these circumstance, we decided to get married between the two years of his master program. Some people supporting us and some people doubt our ability to survive. But we were not to concerned with that. Because my dad and my close friends completely supportive of my decision. And I truly believe that God doesn't charge someone more than its capacity. With pressure from those around, both of us continued to struggle with Bismillah...






You know, me and my husband very different in a lot of ways. More than that, we had whole different cultural background, different character, different habit, and different perspective for life. When we started make a new life and living together, the change takes place at so many levels. From a change in behavior, change in speech, change of thinking, a change in lifestyle, until our body shape changes, lol. Even sometimes we had different opinions and still maintain our arguments, but it's okey :)


After marriage, my husband and my family were becoming on my first priority. I want to dedicate full of my time for them. He always support me for taking the risk when I left my job. This is probably the most difficult. But he gave me understanding that instead of wasting my time obsessing over something beyond my control, more better if I would prefer to take care of my family and educating our children in the future. Manage all they necessity most of the time and whatever their primary needs are always comes first before mine.


Now we are happy live in the same home and sleep in the same bed, hihiiii. Love each other by Allah's sake. Grateful by each other. Everyday, we constantly keep waking up before Fajr Adhan and going to the mosque together. After we have prayed, he always make time to recite The Qur'an while I takes time to home duties. But if I don't read my Qur'an after Fajr, I read it after Dhuha. Yeah... we always spending a quality time together to be communicated for what we had done on a daily.


After my dad, my husband will be the first one to believe me that I could have done better. He always told me to be the bigger person no matter how they will treat me poorly, when they are trying to bring me down. By tell me to never revenge, he has shaped me into the woman that I'm today. He merely pointed the way without talk too much. All I can say that we've been very happily married for almost 2 years and forever Insya Allah. I'm so grateful how God returned him to me.


Now he has completed his master program and I find a "new" job in home. Enjoy blogging as great place where I could see how I am, write something big that I truly believe. God will not let go waste the reward of our effort.


So... Finding the right person who help you to get closer to God and always remind you to God. Be together for the right reason. Surround yourself with good people and focus on something good in life. Yeay !



(Photo by Canon EOS M5)

Saturday, January 21, 2017

Ambivert Personality, So What ??!!


From I started my blog in 2012 until now, maybe you know that I've been shared so much about who I am. About my my daily life, my culinary adventure, my passion and lifestyle. That's why I called my site The Lifeline


But as much as I like to publish more story of my life on public, you may be surprised to know that in real life I'm an ambivert. I never call myself an extrovert or introvert. I truly feel somewhere in the middle between them, yes I'm identifies as an ambivert.






  • I usually prefer alone in my free time, but I'm also sociable for some reasons, lol.
  • At some moment I like more talking but I'm also comfortable more listening
  • I need some friend around me, but sometimes I'm happy being alone and I'm not feeling lonely.
  • I'm interest meet with new people, but I'm selective for making new friendship and it's okey if I don't have many friends.
  • People often see me as completely and extroverted because they see it gets the most in me, but from the other side of me I love stay at my room alone for reading and writing all day long. 


I'm the kind of person who love hanging out one on one, or only twos, or threes with my close friend better than in groups. It makes me more intimate with her/him/them. I get a chance to care and listening each other than a group can contribute. Like this, just a little bit friend, they are really know me well, we have a best time when we go out, and I have tons of happines with them :)












We always meet and eat together :)



(Photo By Iphone 5S)