Tuesday, July 11, 2023

Menerima Kehilangan

 

Manusia selalu butuh waktu untuk mencerna & memahami apa yang telah lalu & apa yang sedang terjadi saat ini. Apalagi ketika menghadapi momen kehilangan.







Sesederhana kehilangan barang kesayangan saja, baperku bisa berhari-hari, apalagi kehilangan sosok manusia yang sangat melekat dalam hidup, kehilangan pasti akan menjadi sangat terasa. Rasa sesaknya berbeda, sebab kita memiliki ikatan dan kenangan dengannya. Makin terasa sesak saat kita tahu, esok hari, kita tak bisa menemuinya lagi di tempat yang sama. Seseorang yang begitu berarti dan punya peran penting dalam hidup.


Kalau diingat-ingat lagi, barangkali, hampir setiap hari manusia pasti melalui kehilangan-kehilangan kecil. Terkadang kehilangan semangat, juga kehilangan rasa nyaman, ada pula yang kehilangan keakraban, kehilangan kebersamaan, kehilangan nikmat sehat, kehilangan nikmat lapang, kehilangan momen-momen penting dalam hidup. 


Kehilangan-kehilangan itu akan membuat manusia berubah. Ada rasa sedih, terluka, sesal & sederet perasaan lain yang membuat kita disuatu waktu hanya ingin hening dan tak ingin hal yang sama terulang.


Padahal yang sering terlupa, kita tak selalu diberi pengingat. Yang sering terlupa, orang tua atau orang-orang terdekat kita juga sewaktu-waktu akan pergi. Yang sering terlupa, bisa jadi kita yang mendahului. Tak ada yang tahu. Barangkali, kita baru akan menyadari arti kehadiran masing-masing ketika umur sudah tak lagi tersisa.


Dan tiap kali mendengar kabar kepergian seseorang, aku sedang merasa diingatkan.


Dua tahun lalu, adikku kehilangan putranya, keponakanku. Dia pergi tepat dua belas jam sejak kelahirannya. Anak pertama yang tak sempat adikku lihat dan sentuh untuk pertama dan terakhir kalinya, yang esoknya baru bisa ia temui dalam kondisi dan di tempat yang berbeda. Perih sekali melihat pertama kalinya sosok yang ceria itu menangis deras, matanya berangsur jadi telaga, apalagi istrinya. Aku bahkan tak sanggup membayangkan rasanya jika itu terjadi padaku. 


Mendengar kabar berpulangnya ibu dari seorang kawan karib yang dahulu rumahnya sering ku kunjungi, juga tak kalah perihnya. Duh… rasanya pun tak kan cukup hanya dengan menemani hari berdukanya saja. Ibunya teramat tulus pada kami kawan-kawannya. Dan aku masih mengingat jelas nikmatnya bakwan jagung yang selalu ia buatkan untuk kami ketika kami berkunjung.


Belum lagi, ketika melihat saudara yang sehari sebelumnya baru saja ku tengok di rumah sakit dengan kondisi membaik. Lega hati. Tak terpikir sedikitpun ia akan pergi, hingga kemudian kabar duka itu mendadak datang sehari setelahnya. Hati berdebar kencang. Lagi lagi aku diingatkan. Ternyata sehat dan membaik pun tak cukup menjamin panjang usia manusia.


Apalagi ketika aku mendengar kabar berpulangnya ayah yang sangat dicintai oleh teman baikku, Ira, justru berhari-hari setelah kepergiannya. Ia bisa sekuat itu menyimpan dukanya sendiri dan membuatku sangat menyesal tak bisa menemaninya. Seketika aku merasa begitu abai padanya. Padahal ia yang dahulu selalu menemaniku melewati masa-masa patah hati.


Pernah patah hati saja, pilunya tak pernah sampai sedalam itu, sebab menikah & jatuh cinta ternyata cukup menyenangkan juga. Sementara, kehilangan seseorang yang sosoknya melekat dalam hidup, barangkali rasanya porsi ikhlas itu sudah habis tak bersisa.


Aku sangat bersyukur, ayah ibuku, bapak dan ibu mertuaku, keduanya masih ada dan sehat. Begitupun suami dan anak-anak. Aku mungkin tak akan sekuat itu melalui duka jika kehilangan mereka. Memang sulit rasanya berprasangka baik akan sebuah kehilangan. Namun, lagi lagi aku merasa terus diingatkan bahwa mereka adalah satu dari sekian banyak wujud sayang-Nya padaku yang suatu saat akan ia ambil kembali. Sebab, ya, tak ada yang benar-benar aku miliki di dunia ini, melainkan hanya DIA.


Aku hanya berharap, setiap kehilangan kecil yang pernah aku lalui dan kehilangan-kehilangan berikutnya yang pasti akan aku alami, menjadi pahala untukku, menjadi ampunan untukku dan untuk mereka yang telah pergi. Menjadikanku semakin dekat dengan-Nya dan menjadi sebuah kebaikan untuk mereka yang ditinggal pergi. 


Sebab, kepunyaan Allah lah segala yang ada di bumi dan langit. Dan kepada Nya lah dikembalikan segala urusan ~


Teruntuk orang-orang terdekat yang telah mendahului : Mbah Joyo Taruno & Mbah Warti, Mbah Legiman & Mbah Siti Maryam, Ika Farizta, Mbak Karni, Mbah Yati dan keponakanku Omar Pasha.


Terima kasih pernah ada di sisi ~

Wednesday, July 5, 2023

Memaknai Rumah







Setiap manusia pasti memiliki kisah masa lalu. Sebagian menjadi cerita yang sangat membahagiakan, sebagian menjadi kisah penuh pembelajaran dan sebagian lagi mungkin sedang berusaha dilupakan. Perihal berlapang hati dan menemukan titik keseimbangan yang tepat, semua ada waktunya.


Aku akan memulai cerita hari ini tentang rumah.



Ada hal yang selalu terkenang ketika bercerita tentang rumah. Bertahun-tahun menempati rumah dimana aku dibesarkan, bertahun-tahun menempati rumah di dekat kampus, bertahun-tahun menempati rumah dengan akses transportasi terbaik menuju tempat kerja, bertahun-tahun juga menempati rumah setelah aku berkeluarga. Rumah yang aku maknai lebih dari sekedar hunian dengan atap, melainkan juga tempatku berteduh dan bertumbuh.




Bersama teman-teman 


                   
Belajar bersama
             


Bayi-bayi yang tumbuh bersama







Tertawa bahagia



Rumah Kedua 




Aku menghabiskan masa muda di kota kelahiranku Balikpapan. Kami menempati sebuah rumah dinas berukuran cukup besar dan tinggal berpindah-pindah meskipun berada dalam satu kota yang sama. Ayah akan menyesuaikan tempat tinggal kami dengan lokasi sekolah kami saat itu. Tak jauh dari sekolah dan fasilitas umum seperti rumah sakit dan tempat makan. Seingatku, kami dua kali berpindah rumah selama aku SD, sekali saat SMP dan sekali saat SMA. Untuk sampai ke sekolah, kami cukup berjalan kaki. Bersama beberapa teman, aktivitas berjalan kaki menuju sekolah jadi terasa menyenangkan. Sepanjang jalan aku merekam apa yang ku saksikan, mengambil semua hal yang menyentuh hati dan menyimpannya dalam memori. Bertahun-tahun kemudian baru kusadari mengapa aku menyukai aktivitas berjalan kaki dan cukup kuat berjalan jauh. Sebuah kegiatan kecil yang membuatku acapkali menemukan ‘rumah’, menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergemuruh di kepala.



Sama halnya ketika aku kuliah & bekerja di Surabaya. Aku mengalami beberapa kali pindah tempat tinggal. Tahun pertama tinggal di asrama mahasiswa, cukup memberiku banyak pengalaman. Pahit, manis, asin, gurih, duh… aku berhutang budi banyak dengan asrama. Di tempat itu, aku melewati fase mandiri. Pertama kalinya belajar menyediakan makan untuk diri sendiri. Pertama kalinya naik kendaraan umum. Anak cupu yang tak bisa memasak, tak pernah kemana-mana sendiri, dipaksa oleh keadaan untuk survive mengerjakan apa-apa sendiri. Ya meski akhirnya tetap tak bisa masak 😁 setidaknya satu tahun pertama aku sudah cukup hafal kemana harus mencari makanan enak.



Tahun kedua dan seterusnya, aku sudah berpindah tempat tinggal lagi. Ke tempat yang menurutku lebih baik. Sama seperti ayah, aku mencari tempat tinggal yang lebih dekat. Dekat dengan rumah makan, tentunya. Sebagai anak rantau, urusan perut selalu nomer satu 👀



Setelah menikah, fase ini benar-benar mengubah peta hidupku. Tak hanya berpindah tempat tinggal, aku juga harus berpindah kota. Sebetulnya, aku cukup akrab dengan kota Solo. Hanya saja aku tidak terlalu cocok dengan makanan-makanan istimewanya seperti selat atau nasi liwet.


Sejak kepindahanku, malam-malam selalu terasa panjang. Aku ingin segera bertemu pagi. Ada banyak sekali kebiasaan dan perubahan yang aku rasakan. Ada banyak hal yang ingin aku lupakan. Tak sedikit pula yang ingin aku simpan rapat, ku kenang dan mungkin akan ku ulang. Bagaimana aku melewati fase beradaptasi dengan situasi dan kondisi orang-orang di sekitarku. Bagaimana aku bertempur dengan pikiranku setiap hari dan disaat yang sama aku belajar untuk pasrah. Bagaimana pada akhirnya aku melihat kehidupan dan banyak mengambil hikmah. Bahwa tak semua rumah bisa membeti rasa nyaman. Hari-hari itu pernah menyapaku. Hingga ditahun kelima, kami beranjak pergi. 



Pindah adalah keputusan paling tepat yang pernah kami buat saat itu.



Ada karakter baru yang aku sukai ada dalam diriku tiga tahun belakangan ini. Aku tegas dan sedikit galak untuk menolak sesuatu yang bertentangan dengan hatiku. Aku tetap menjaga komunikasi dengan orang-orang tertentu atau tidak berkomunikasi sama sekali dengan orang-orang yang mungkin saja memunculkan konflik. Aku tetap bisa berlaku baik terhadap orang yang ku tau tidak menyukaiku bukan karena aku tak mampu melawan itu sendirian, tapi aku lebih memilih menggunakan energiku untuk memenangkan hal lain. Aku tak perlu menunjukkan apa yang ku punya agar dianggap ada dan bisa diterima. Tak gundah pula dengan pencapaian-pencapaian dunia yang orang lain punya. I can take good care of my own self. Aku benar-benar telah menemukan 'rumah'. 



Sekarang, bisa dibilang, inilah fase terbaik dalam kehidupan kami. Ketenangannya, kenyamanannya. Aku merasa jauh lebih bahagia. Lebih mindful dan nyaman. Pergeseranku melihat soal rumah terjadi di sini. Bukan hanya tentang rumah yang rapi, tapi juga jiwa dan hati. Ketenangan beribadah, kenyamanan beristirahat. Hati dan raga benar tau apakah dirinya dijaga dengan sungguh-sungguh oleh pemiliknya. Aku merasa jauh lebih sehat. Melewati hari demi hari dimana keadaan kami jauh lebih tenang. Bersama tetangga-tetangga yang manis, aku memiliki cinta yang aku inginkan. Menjalankan hidup secukupnya dan apa adanya, tenang tanpa banyak distraksi. Bersama mereka yang ku sebut ‘rumah’.



Sebab, pada akhirnya, kita yang memutuskan akan bagaimana kita menjalani hidup. Orang lain boleh berprasangka tentang kita dan menilai kita sebatas hal-hal yang mereka bisa lihat dan ketahui. Tapi, percayalah, itu hanya asumsi. Satu-satunya yang paham betul bagaimana kita dan tau konsekuensi atas semua keputusan yang kita pilih ya kita sendiri. Yaaa minimal mereka yang benar-benar peduli :)



Aku selalu mengingat-ingat satu hal bahwa kehidupan di dunia yang sedang aku jalani saat ini tak lain hanyalah permainan dan senda gurau. Akan ada seseorang yang lebih baik dari kita. Tapi, bukan berarti kita tak bisa menjadi lebih baik. Berkompetisi cukup dengan diri sendiri aja. Sesekali memandang ke atas dan banyak memandang ke bawah agar tau arti bersyukur. Meneruskan perjalanan sambil terus belajar berdamai dengan kisah-kisah yang telah lalu.



Aku merasa kehidupan manusia tak akan selalu di atas untuk waktu yang lama, tapi juga tidak akan di bawah selamanya. Jangan terlena dan berusahalah merasa cukup. Agar ketika kita di langit, kita tak akan lupa menapak bumi yang pernah memberi kita ‘rumah’ beserta sebaik-baik pelajaran hidup di dalamnya.