Wednesday, July 5, 2023

Memaknai Rumah







Setiap manusia pasti memiliki kisah masa lalu. Sebagian menjadi cerita yang sangat membahagiakan, sebagian menjadi kisah penuh pembelajaran dan sebagian lagi mungkin sedang berusaha dilupakan. Perihal berlapang hati dan menemukan titik keseimbangan yang tepat, semua ada waktunya.


Aku akan memulai cerita hari ini tentang rumah.



Ada hal yang selalu terkenang ketika bercerita tentang rumah. Bertahun-tahun menempati rumah dimana aku dibesarkan, bertahun-tahun menempati rumah di dekat kampus, bertahun-tahun menempati rumah dengan akses transportasi terbaik menuju tempat kerja, bertahun-tahun juga menempati rumah setelah aku berkeluarga. Rumah yang aku maknai lebih dari sekedar hunian dengan atap, melainkan juga tempatku berteduh dan bertumbuh.




Bersama teman-teman 


                   
Belajar bersama
             


Bayi-bayi yang tumbuh bersama







Tertawa bahagia



Rumah Kedua 




Aku menghabiskan masa muda di kota kelahiranku Balikpapan. Kami menempati sebuah rumah dinas berukuran cukup besar dan tinggal berpindah-pindah meskipun berada dalam satu kota yang sama. Ayah akan menyesuaikan tempat tinggal kami dengan lokasi sekolah kami saat itu. Tak jauh dari sekolah dan fasilitas umum seperti rumah sakit dan tempat makan. Seingatku, kami dua kali berpindah rumah selama aku SD, sekali saat SMP dan sekali saat SMA. Untuk sampai ke sekolah, kami cukup berjalan kaki. Bersama beberapa teman, aktivitas berjalan kaki menuju sekolah jadi terasa menyenangkan. Sepanjang jalan aku merekam apa yang ku saksikan, mengambil semua hal yang menyentuh hati dan menyimpannya dalam memori. Bertahun-tahun kemudian baru kusadari mengapa aku menyukai aktivitas berjalan kaki dan cukup kuat berjalan jauh. Sebuah kegiatan kecil yang membuatku acapkali menemukan ‘rumah’, menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergemuruh di kepala.



Sama halnya ketika aku kuliah & bekerja di Surabaya. Aku mengalami beberapa kali pindah tempat tinggal. Tahun pertama tinggal di asrama mahasiswa, cukup memberiku banyak pengalaman. Pahit, manis, asin, gurih, duh… aku berhutang budi banyak dengan asrama. Di tempat itu, aku melewati fase mandiri. Pertama kalinya belajar menyediakan makan untuk diri sendiri. Pertama kalinya naik kendaraan umum. Anak cupu yang tak bisa memasak, tak pernah kemana-mana sendiri, dipaksa oleh keadaan untuk survive mengerjakan apa-apa sendiri. Ya meski akhirnya tetap tak bisa masak 😁 setidaknya satu tahun pertama aku sudah cukup hafal kemana harus mencari makanan enak.



Tahun kedua dan seterusnya, aku sudah berpindah tempat tinggal lagi. Ke tempat yang menurutku lebih baik. Sama seperti ayah, aku mencari tempat tinggal yang lebih dekat. Dekat dengan rumah makan, tentunya. Sebagai anak rantau, urusan perut selalu nomer satu 👀



Setelah menikah, fase ini benar-benar mengubah peta hidupku. Tak hanya berpindah tempat tinggal, aku juga harus berpindah kota. Sebetulnya, aku cukup akrab dengan kota Solo. Hanya saja aku tidak terlalu cocok dengan makanan-makanan istimewanya seperti selat atau nasi liwet.


Sejak kepindahanku, malam-malam selalu terasa panjang. Aku ingin segera bertemu pagi. Ada banyak sekali kebiasaan dan perubahan yang aku rasakan. Ada banyak hal yang ingin aku lupakan. Tak sedikit pula yang ingin aku simpan rapat, ku kenang dan mungkin akan ku ulang. Bagaimana aku melewati fase beradaptasi dengan situasi dan kondisi orang-orang di sekitarku. Bagaimana aku bertempur dengan pikiranku setiap hari dan disaat yang sama aku belajar untuk pasrah. Bagaimana pada akhirnya aku melihat kehidupan dan banyak mengambil hikmah. Bahwa tak semua rumah bisa membeti rasa nyaman. Hari-hari itu pernah menyapaku. Hingga ditahun kelima, kami beranjak pergi. 



Pindah adalah keputusan paling tepat yang pernah kami buat saat itu.



Ada karakter baru yang aku sukai ada dalam diriku tiga tahun belakangan ini. Aku tegas dan sedikit galak untuk menolak sesuatu yang bertentangan dengan hatiku. Aku tetap menjaga komunikasi dengan orang-orang tertentu atau tidak berkomunikasi sama sekali dengan orang-orang yang mungkin saja memunculkan konflik. Aku tetap bisa berlaku baik terhadap orang yang ku tau tidak menyukaiku bukan karena aku tak mampu melawan itu sendirian, tapi aku lebih memilih menggunakan energiku untuk memenangkan hal lain. Aku tak perlu menunjukkan apa yang ku punya agar dianggap ada dan bisa diterima. Tak gundah pula dengan pencapaian-pencapaian dunia yang orang lain punya. I can take good care of my own self. Aku benar-benar telah menemukan 'rumah'. 



Sekarang, bisa dibilang, inilah fase terbaik dalam kehidupan kami. Ketenangannya, kenyamanannya. Aku merasa jauh lebih bahagia. Lebih mindful dan nyaman. Pergeseranku melihat soal rumah terjadi di sini. Bukan hanya tentang rumah yang rapi, tapi juga jiwa dan hati. Ketenangan beribadah, kenyamanan beristirahat. Hati dan raga benar tau apakah dirinya dijaga dengan sungguh-sungguh oleh pemiliknya. Aku merasa jauh lebih sehat. Melewati hari demi hari dimana keadaan kami jauh lebih tenang. Bersama tetangga-tetangga yang manis, aku memiliki cinta yang aku inginkan. Menjalankan hidup secukupnya dan apa adanya, tenang tanpa banyak distraksi. Bersama mereka yang ku sebut ‘rumah’.



Sebab, pada akhirnya, kita yang memutuskan akan bagaimana kita menjalani hidup. Orang lain boleh berprasangka tentang kita dan menilai kita sebatas hal-hal yang mereka bisa lihat dan ketahui. Tapi, percayalah, itu hanya asumsi. Satu-satunya yang paham betul bagaimana kita dan tau konsekuensi atas semua keputusan yang kita pilih ya kita sendiri. Yaaa minimal mereka yang benar-benar peduli :)



Aku selalu mengingat-ingat satu hal bahwa kehidupan di dunia yang sedang aku jalani saat ini tak lain hanyalah permainan dan senda gurau. Akan ada seseorang yang lebih baik dari kita. Tapi, bukan berarti kita tak bisa menjadi lebih baik. Berkompetisi cukup dengan diri sendiri aja. Sesekali memandang ke atas dan banyak memandang ke bawah agar tau arti bersyukur. Meneruskan perjalanan sambil terus belajar berdamai dengan kisah-kisah yang telah lalu.



Aku merasa kehidupan manusia tak akan selalu di atas untuk waktu yang lama, tapi juga tidak akan di bawah selamanya. Jangan terlena dan berusahalah merasa cukup. Agar ketika kita di langit, kita tak akan lupa menapak bumi yang pernah memberi kita ‘rumah’ beserta sebaik-baik pelajaran hidup di dalamnya.