Friday, December 30, 2022

Tahun-tahun Penuh Kebaikan

 

Semalam, aku berusaha mengingat-ingat kembali, apa yang membuatku merasa tak berdaya, dalam tahun-tahun belakangan ini. Aku merasa perlu mengingat, agar tak jumawa.


Ooohhh… Kejadian yang cukup menghentakku itu. Aku meradang. Aku merasa bertahun-tahun semua yang kulakukan tak ada artinya. Ucapan kembali kasih pun tak pernah sampai ke telinga.






Padahal, beradaptasi dengan situasi baru, mengubah kebiasaan, banyak memaklumi bukan lah perkara mudah. Lalu aku masih dituntut untuk mengerti ? Aku, saat itu, ditahun-tahun itu, merasa muak menjadi orang yang selalu diberi peran untuk terus memahami.


Tak ada yang tau kekuatan hati manusia. Ada yang punya hati sekeras baja. Ada pula hati yang seakan terbuat dari kaca, mudah rapuhnya. Ada yang cepat memaafkan, ada pula yang memendam dendam dalam-dalam. Aku (?)


Lalu, aku mencoba sedikit menilik dari sisi yang berbeda. Jangan-jangan selama ini aku tidak sadar bahwa sebenarnya sedang tinggi hati. Bahwa aku angkuh & sedang bertindak sombong. Bukankah memaksakan agar sejalan & merasa benar sama dengan sombong dalam bentuk yang paling halus (?) 


Bertahun-tahun menyamakan perlakuan pada semua orang, aku pikir itu adil, ternyata itulah kesombongan !


Kesombongan yang menjadikan dua tahun ke belakang sebagai tahun-tahun penuh pembelajaran.


Bahwa setiap orang yang aku temui, benar-benar tak ada yang sama. Meskipun berasal dari garis yang sama. Mesti dihadapi dengan cara yang berbeda-beda.


Caraku menghadapi ayah, akan berbeda dengan caraku menghadapi mama. Caraku menghadapi bapak, akan berbeda dengan caraku menghadapi ibu. Caraku menghadapi kawan yang satu, akan berbeda dengan caraku menghadapi kawan yang lain. Sebab pola pikir & emosi mereka berbeda. Butuh strategi & kelapangan hati untuk tetap hangat & dekat. Butuh ikhlas & hati-hati. Agar aku tak salah melangkah. 


Betul, berganti tahun pun tidak akan lantas membuat luka itu lenyap. Aku tidak akan pernah membenarkan tindakannya. Sebuah tindakan yang bagiku sudah melewati batasan-batasan yang terbentuk dalam lingkar keluargaku.


Tapi, memaafkan selalu mampu menyembuhkan 🙃


Satu tahun ke belakang, menjelma menjadi tahun-tahun terbaikku. Aku merasa lebih baik. Jauh lebih baik. Merasa lebih lega. Tak mudah responsif untuk sesuatu yang bertentangan dengan hatiku. Melambat agar bisa melihat lebih dekat. 


Banyak nikmat & kebaikan mendekat & menjadi lekat. Ketenangan beribadah. Tetangga & lingkungan yang baik. Jauh dari bising. Hal-hal yang menjadi doaku sejak dulu. 


Belum lagi, seorang kawan lama dengan tulus hatinya kerap bolak balik ke rumah untuk mendekapku. Membawakan makanan kesukaan sepaket dengan bertubi kebahagiaan & lawakan. Menyiapkan untukku telinga & tempat dihatinya. Tak berlebihan rasanya kalau kubilang ia bagai kepanjangan tangan Tuhan.


Tak perlu lagi aku ceritakan berapa banyak kebaikan-Nya. Untukku, untuk suamiku & untuk anak-anakku. Makin meyakinkanku bahwa manusia lebih butuh ketenangan daripada kesenangan. Ketenangan saat memikul kesulitan. Ketenangan saat berproses menggapai hal-hal baik. Ketenangan yang hanya bisa ku rasa namun tak bisa dilihat oleh mata manusia lain.


Sudah tak ada marah hati. Namun, untuk berakrab-akraban kembali, ku rasa bukan sebuah keharusan yang perlu dipenuhi. Membatasi interaksi yang tak perlu. Menghindari hal kurang menyenangkan yang mungkin bisa kembali terjadi. Demi sebaik-baiknya ketenangan.


Keikhlasan memang tak perlu dipertontonkan. Termasuk keikhlasan menerima & memaafkan. Bukan untuk menghapus yang sudah lalu, tapi mampu mengingat luka itu dalam bingkai yang baru. Dengan hati yang lebih baik ~

Tuesday, February 22, 2022

Jiro Dreams of Sushi : Representasi Budaya Hatarakisugi di Jepang

 



Soal rasa, lidah ini memang agak sedikit kampung, sih. Seleranya lokal banget. Buktinya, sampai sekarang, aku nggak pernah benar-benar bisa menikmati Foie Gras. Norak ye, lol. Kalo disuruh pilih Foie Gras atau bebek Purnama, aku pasti pilih yang kedua.


Nah, masalah hadir ketika teman-teman pecinta makanan Jepang menang voting kala itu. Tau kan apa yang ku lakukan ? Ya kabur lah, lol. Melipir ke KFC sebelah kantor. Setelah berkali-kali nolak diajak nongkrong di Sushi Tei, akhirnya satu tahun sebelum resign, aku nyerah. Tetap saja, yang ku pilih mostly makanan yang matang. Salmon Mentai Sushi salah satunya. Eh, kok cocok, lol.


Jadi, hari ini aku akan berkisah tentang Jiro Ono. Aku ? Ya Ora Ono Apa-apa ne Karo De’e. Nggak gitu ding konsepnya, hehe. Pecinta sushi pasti tau siapa dia. Tapi bukan makanan di balik dapur Jiro yang ingin ku bagi ceritanya di sini, melainkan semangatnya & bagaimana ia teramat mencintai pekerjaannya.


(Source : Pinterest)


Jiro Ono diklaim sebagai Master Sushi terbaik di dunia. Usianya hampir mendekati satu abad. Orang lawas yang dikenal akan kecintaannya terhadap sushi. Baginya, sushi adalah karya seni. Hari-harinya sibuk, seperti tak menyisakan ruang untuk bernafas. Ia justru tak suka hari libur. Baginya, libur justru membuat waktu berjalan lambat. Ia hanya libur ketika tanggal merah. Layak kalo dirinya masuk ke dalam daftar kaum Hatarakibaci. Beda ya sama kite-kite yang senang banget kalo banyak libur, gak mau lembur, tapi tetap pengin fulusnya ngucur, lol.


Jepang adalah negara penganut kesempurnaan. Segala sesuatunya dituntut untuk praktik sempurna. Jiro Dreams of Sushi membuat penikmatnya jadi banyak tau bagaimana Jepang mampu mempertahankan nilai-nilai hidup yang mereka anut hingga kini. Bagaimana budaya mereka akhirnya berimplikasi pada lahirnya citra Jepang di panggung dunia sebagai negara yang disegani. 


Jiro tangguh sedari kecil. Bagaimana tidak. Ia berasal dari keluarga tajir yang kemudian hidupnya berbalik arah ketika bisnis ayahnya gulung tikar. Lalu hidup sendirian diumurnya yang masih tujuh tahun.


Awal ia menikah pun masih sama. Cuma punya 10 yen di tabungan. Coba deh rupiahkan sendiri, hehe. Pergi kerja sedari subuh & balik ke rumah ketika anak-anaknya sudah tidur. Waktu magang, ia hampir tak dibayar sama sekali. Lalu apa dia nyerah ? Oh tentu tydack sodara-sodara. Ia terus berusaha & mengulang hal yang sama setiap hari. Ingat ya, mengulang hal yang sama setiap hari. Memperbaiki sedikit demi sedikit, untuk membuat sushi terbaik.


Tekunnya gak ada ampun. Selalu level up his skill. Ia juga mendorong kedua putranya, Yoshikazu & Takashi, untuk belajar & bekerja di kedai sushi miliknya. Mereka berlatih dengan keras. Tiap hari, selama persiapan sebelum kedai dibuka, Jiro selalu mencicipi sushi yang mereka buat & duduk makan bersama dengan para asistennya.


Bahkan malam sebelumnya, ia selalu berdiskusi dengan putra pertamanya, Yoshikazu, tentang rencana esok hari. Apa saja yang diinginkan oleh Jiro. Belajar teruuus, sampai putra keduanya, Takashi, dipercaya mengelola cabang.


Sangking besarnya nama sang ayah, para pelanggan selalu beranggapan bahwa sushi terbaik buatan Takashi pun rasanya nggak akan mampu menandingi sushi buatan ayahnya. Biasalah kayak gitu. Ketika ada dua hal yang mirip atau sama, pasti langsung dibandingin & dicari-cari perbedaannya. Kalo disini, selain dibandingin, bonus dijulitin pulak, langsung deh kenak mental, lol. 


Jiro punya akses khusus dengan yang terbaik. Pemasok tuna & udang terbaik. Pemasok beras terbaik. Mereka memahami kebutuhannya & ia pun royal terhadap mereka. 


Ia paham betul ikan apa yang sedang musim. Bagaimana memilih, menyimpan & mengolahnya. Bagaimana memotong ikan, mana yang harus tebal & mana yang harus tipis. Bagaimana menyajikan ikan agar suhunya terjaga & rasanya nggak berubah. Bagaimana agar tekstur ikan tetap kenyal tapi tetap mudah dikunyah. Seberapa banyak wasabi harus disertakan. Untuk menyajikan nasi aja nih, nggak main-main. Nasi harus punya daya ikat yang cukup agar nggak tercerai berai, bulirnya utuh, nggak lembek alias padat. Padahal kalo udah dicaplok sama aja ya, haha.


Ia seorang perfeksionis. Selalu ‘keras’ melatih muridnya. Mental kuat akan membawa mereka dekat dengan keahlian level dewa seperti yang dimiliki Jiro, tapi kalo tidak, mereka pasti langsung kabur dalam sehari, lol. Mereka benar-benar dilatih dengan serius, nggak sekedar magang disuruh cuci piring doank. Bahkan salah satu pelanggannya ada yang kini menjadi asistennya. Berlatihnya nggak sebentar, bertahun-tahun.


Aku sepakat dengan statement Jiro : untuk membuat makanan enak, kita mesti nyoba makanan enak. Ia mengatur pengelolaan food product dengan profesional, cooking method yang sempurna, penerapan hygiene & food serving yang baik. Itu semua membuat sushi yang ia hidangkan membekas panjang dalam ingatan.


Memasak itu soal intuisi, menurutku. Kita bisa saja mencicipi masakan yang sama tapi bisa berbeda jauh rasanya. Sebab intuisi nggak bisa dicuri. 


Dan makanan tak pernah disajikan sendiri. Ia selalu hadir bersama dialog manusia & cerita inspiratif di baliknya. Jiro menularkan cinta & ketulusan. Bahwa semua orang bisa menemukan, memiliki kecintaan & menularkan kegembiraan atas apa yang sedang dikerjakan.


Long life, Jiro ~