Wednesday, July 5, 2023

Memaknai Rumah







Setiap manusia pasti memiliki kisah masa lalu. Sebagian menjadi cerita yang sangat membahagiakan, sebagian menjadi kisah penuh pembelajaran dan sebagian lagi mungkin sedang berusaha dilupakan. Perihal berlapang hati dan menemukan titik keseimbangan yang tepat, semua ada waktunya.


Aku akan memulai cerita hari ini tentang rumah.



Ada hal yang selalu terkenang ketika bercerita tentang rumah. Bertahun-tahun menempati rumah dimana aku dibesarkan, bertahun-tahun menempati rumah di dekat kampus, bertahun-tahun menempati rumah dengan akses transportasi terbaik menuju tempat kerja, bertahun-tahun juga menempati rumah setelah aku berkeluarga. Rumah yang aku maknai lebih dari sekedar hunian dengan atap, melainkan juga tempatku berteduh dan bertumbuh.




Bersama teman-teman 


                   
Belajar bersama
             


Bayi-bayi yang tumbuh bersama







Tertawa bahagia



Rumah Kedua 




Aku menghabiskan masa muda di kota kelahiranku Balikpapan. Kami menempati sebuah rumah dinas berukuran cukup besar dan tinggal berpindah-pindah meskipun berada dalam satu kota yang sama. Ayah akan menyesuaikan tempat tinggal kami dengan lokasi sekolah kami saat itu. Tak jauh dari sekolah dan fasilitas umum seperti rumah sakit dan tempat makan. Seingatku, kami dua kali berpindah rumah selama aku SD, sekali saat SMP dan sekali saat SMA. Untuk sampai ke sekolah, kami cukup berjalan kaki. Bersama beberapa teman, aktivitas berjalan kaki menuju sekolah jadi terasa menyenangkan. Sepanjang jalan aku merekam apa yang ku saksikan, mengambil semua hal yang menyentuh hati dan menyimpannya dalam memori. Bertahun-tahun kemudian baru kusadari mengapa aku menyukai aktivitas berjalan kaki dan cukup kuat berjalan jauh. Sebuah kegiatan kecil yang membuatku acapkali menemukan ‘rumah’, menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergemuruh di kepala.



Sama halnya ketika aku kuliah & bekerja di Surabaya. Aku mengalami beberapa kali pindah tempat tinggal. Tahun pertama tinggal di asrama mahasiswa, cukup memberiku banyak pengalaman. Pahit, manis, asin, gurih, duh… aku berhutang budi banyak dengan asrama. Di tempat itu, aku melewati fase mandiri. Pertama kalinya belajar menyediakan makan untuk diri sendiri. Pertama kalinya naik kendaraan umum. Anak cupu yang tak bisa memasak, tak pernah kemana-mana sendiri, dipaksa oleh keadaan untuk survive mengerjakan apa-apa sendiri. Ya meski akhirnya tetap tak bisa masak 😁 setidaknya satu tahun pertama aku sudah cukup hafal kemana harus mencari makanan enak.



Tahun kedua dan seterusnya, aku sudah berpindah tempat tinggal lagi. Ke tempat yang menurutku lebih baik. Sama seperti ayah, aku mencari tempat tinggal yang lebih dekat. Dekat dengan rumah makan, tentunya. Sebagai anak rantau, urusan perut selalu nomer satu 👀



Setelah menikah, fase ini benar-benar mengubah peta hidupku. Tak hanya berpindah tempat tinggal, aku juga harus berpindah kota. Sebetulnya, aku cukup akrab dengan kota Solo. Hanya saja aku tidak terlalu cocok dengan makanan-makanan istimewanya seperti selat atau nasi liwet.


Sejak kepindahanku, malam-malam selalu terasa panjang. Aku ingin segera bertemu pagi. Ada banyak sekali kebiasaan dan perubahan yang aku rasakan. Ada banyak hal yang ingin aku lupakan. Tak sedikit pula yang ingin aku simpan rapat, ku kenang dan mungkin akan ku ulang. Bagaimana aku melewati fase beradaptasi dengan situasi dan kondisi orang-orang di sekitarku. Bagaimana aku bertempur dengan pikiranku setiap hari dan disaat yang sama aku belajar untuk pasrah. Bagaimana pada akhirnya aku melihat kehidupan dan banyak mengambil hikmah. Bahwa tak semua rumah bisa membeti rasa nyaman. Hari-hari itu pernah menyapaku. Hingga ditahun kelima, kami beranjak pergi. 



Pindah adalah keputusan paling tepat yang pernah kami buat saat itu.



Ada karakter baru yang aku sukai ada dalam diriku tiga tahun belakangan ini. Aku tegas dan sedikit galak untuk menolak sesuatu yang bertentangan dengan hatiku. Aku tetap menjaga komunikasi dengan orang-orang tertentu atau tidak berkomunikasi sama sekali dengan orang-orang yang mungkin saja memunculkan konflik. Aku tetap bisa berlaku baik terhadap orang yang ku tau tidak menyukaiku bukan karena aku tak mampu melawan itu sendirian, tapi aku lebih memilih menggunakan energiku untuk memenangkan hal lain. Aku tak perlu menunjukkan apa yang ku punya agar dianggap ada dan bisa diterima. Tak gundah pula dengan pencapaian-pencapaian dunia yang orang lain punya. I can take good care of my own self. Aku benar-benar telah menemukan 'rumah'. 



Sekarang, bisa dibilang, inilah fase terbaik dalam kehidupan kami. Ketenangannya, kenyamanannya. Aku merasa jauh lebih bahagia. Lebih mindful dan nyaman. Pergeseranku melihat soal rumah terjadi di sini. Bukan hanya tentang rumah yang rapi, tapi juga jiwa dan hati. Ketenangan beribadah, kenyamanan beristirahat. Hati dan raga benar tau apakah dirinya dijaga dengan sungguh-sungguh oleh pemiliknya. Aku merasa jauh lebih sehat. Melewati hari demi hari dimana keadaan kami jauh lebih tenang. Bersama tetangga-tetangga yang manis, aku memiliki cinta yang aku inginkan. Menjalankan hidup secukupnya dan apa adanya, tenang tanpa banyak distraksi. Bersama mereka yang ku sebut ‘rumah’.



Sebab, pada akhirnya, kita yang memutuskan akan bagaimana kita menjalani hidup. Orang lain boleh berprasangka tentang kita dan menilai kita sebatas hal-hal yang mereka bisa lihat dan ketahui. Tapi, percayalah, itu hanya asumsi. Satu-satunya yang paham betul bagaimana kita dan tau konsekuensi atas semua keputusan yang kita pilih ya kita sendiri. Yaaa minimal mereka yang benar-benar peduli :)



Aku selalu mengingat-ingat satu hal bahwa kehidupan di dunia yang sedang aku jalani saat ini tak lain hanyalah permainan dan senda gurau. Akan ada seseorang yang lebih baik dari kita. Tapi, bukan berarti kita tak bisa menjadi lebih baik. Berkompetisi cukup dengan diri sendiri aja. Sesekali memandang ke atas dan banyak memandang ke bawah agar tau arti bersyukur. Meneruskan perjalanan sambil terus belajar berdamai dengan kisah-kisah yang telah lalu.



Aku merasa kehidupan manusia tak akan selalu di atas untuk waktu yang lama, tapi juga tidak akan di bawah selamanya. Jangan terlena dan berusahalah merasa cukup. Agar ketika kita di langit, kita tak akan lupa menapak bumi yang pernah memberi kita ‘rumah’ beserta sebaik-baik pelajaran hidup di dalamnya. 

Friday, December 30, 2022

Tahun-tahun Penuh Kebaikan

 

Semalam, aku berusaha mengingat-ingat kembali, apa yang membuatku merasa tak berdaya, dalam tahun-tahun belakangan ini. Aku merasa perlu mengingat, agar tak jumawa.


Ooohhh… Kejadian yang cukup menghentakku itu. Aku meradang. Aku merasa bertahun-tahun semua yang kulakukan tak ada artinya. Ucapan kembali kasih pun tak pernah sampai ke telinga.






Padahal, beradaptasi dengan situasi baru, mengubah kebiasaan, banyak memaklumi bukan lah perkara mudah. Lalu aku masih dituntut untuk mengerti ? Aku, saat itu, ditahun-tahun itu, merasa muak menjadi orang yang selalu diberi peran untuk terus memahami.


Tak ada yang tau kekuatan hati manusia. Ada yang punya hati sekeras baja. Ada pula hati yang seakan terbuat dari kaca, mudah rapuhnya. Ada yang cepat memaafkan, ada pula yang memendam dendam dalam-dalam. Aku (?)


Lalu, aku mencoba sedikit menilik dari sisi yang berbeda. Jangan-jangan selama ini aku tidak sadar bahwa sebenarnya sedang tinggi hati. Bahwa aku angkuh & sedang bertindak sombong. Bukankah memaksakan agar sejalan & merasa benar sama dengan sombong dalam bentuk yang paling halus (?) 


Bertahun-tahun menyamakan perlakuan pada semua orang, aku pikir itu adil, ternyata itulah kesombongan !


Kesombongan yang menjadikan dua tahun ke belakang sebagai tahun-tahun penuh pembelajaran.


Bahwa setiap orang yang aku temui, benar-benar tak ada yang sama. Meskipun berasal dari garis yang sama. Mesti dihadapi dengan cara yang berbeda-beda.


Caraku menghadapi ayah, akan berbeda dengan caraku menghadapi mama. Caraku menghadapi bapak, akan berbeda dengan caraku menghadapi ibu. Caraku menghadapi kawan yang satu, akan berbeda dengan caraku menghadapi kawan yang lain. Sebab pola pikir & emosi mereka berbeda. Butuh strategi & kelapangan hati untuk tetap hangat & dekat. Butuh ikhlas & hati-hati. Agar aku tak salah melangkah. 


Betul, berganti tahun pun tidak akan lantas membuat luka itu lenyap. Aku tidak akan pernah membenarkan tindakannya. Sebuah tindakan yang bagiku sudah melewati batasan-batasan yang terbentuk dalam lingkar keluargaku.


Tapi, memaafkan selalu mampu menyembuhkan 🙃


Satu tahun ke belakang, menjelma menjadi tahun-tahun terbaikku. Aku merasa lebih baik. Jauh lebih baik. Merasa lebih lega. Tak mudah responsif untuk sesuatu yang bertentangan dengan hatiku. Melambat agar bisa melihat lebih dekat. 


Banyak nikmat & kebaikan mendekat & menjadi lekat. Ketenangan beribadah. Tetangga & lingkungan yang baik. Jauh dari bising. Hal-hal yang menjadi doaku sejak dulu. 


Belum lagi, seorang kawan lama dengan tulus hatinya kerap bolak balik ke rumah untuk mendekapku. Membawakan makanan kesukaan sepaket dengan bertubi kebahagiaan & lawakan. Menyiapkan untukku telinga & tempat dihatinya. Tak berlebihan rasanya kalau kubilang ia bagai kepanjangan tangan Tuhan.


Tak perlu lagi aku ceritakan berapa banyak kebaikan-Nya. Untukku, untuk suamiku & untuk anak-anakku. Makin meyakinkanku bahwa manusia lebih butuh ketenangan daripada kesenangan. Ketenangan saat memikul kesulitan. Ketenangan saat berproses menggapai hal-hal baik. Ketenangan yang hanya bisa ku rasa namun tak bisa dilihat oleh mata manusia lain.


Sudah tak ada marah hati. Namun, untuk berakrab-akraban kembali, ku rasa bukan sebuah keharusan yang perlu dipenuhi. Membatasi interaksi yang tak perlu. Menghindari hal kurang menyenangkan yang mungkin bisa kembali terjadi. Demi sebaik-baiknya ketenangan.


Keikhlasan memang tak perlu dipertontonkan. Termasuk keikhlasan menerima & memaafkan. Bukan untuk menghapus yang sudah lalu, tapi mampu mengingat luka itu dalam bingkai yang baru. Dengan hati yang lebih baik ~

Tuesday, February 22, 2022

Jiro Dreams of Sushi : Representasi Budaya Hatarakisugi di Jepang

 



Soal rasa, lidah ini memang agak sedikit kampung, sih. Seleranya lokal banget. Buktinya, sampai sekarang, aku nggak pernah benar-benar bisa menikmati Foie Gras. Norak ye, lol. Kalo disuruh pilih Foie Gras atau bebek Purnama, aku pasti pilih yang kedua.


Nah, masalah hadir ketika teman-teman pecinta makanan Jepang menang voting kala itu. Tau kan apa yang ku lakukan ? Ya kabur lah, lol. Melipir ke KFC sebelah kantor. Setelah berkali-kali nolak diajak nongkrong di Sushi Tei, akhirnya satu tahun sebelum resign, aku nyerah. Tetap saja, yang ku pilih mostly makanan yang matang. Salmon Mentai Sushi salah satunya. Eh, kok cocok, lol.


Jadi, hari ini aku akan berkisah tentang Jiro Ono. Aku ? Ya Ora Ono Apa-apa ne Karo De’e. Nggak gitu ding konsepnya, hehe. Pecinta sushi pasti tau siapa dia. Tapi bukan makanan di balik dapur Jiro yang ingin ku bagi ceritanya di sini, melainkan semangatnya & bagaimana ia teramat mencintai pekerjaannya.


(Source : Pinterest)


Jiro Ono diklaim sebagai Master Sushi terbaik di dunia. Usianya hampir mendekati satu abad. Orang lawas yang dikenal akan kecintaannya terhadap sushi. Baginya, sushi adalah karya seni. Hari-harinya sibuk, seperti tak menyisakan ruang untuk bernafas. Ia justru tak suka hari libur. Baginya, libur justru membuat waktu berjalan lambat. Ia hanya libur ketika tanggal merah. Layak kalo dirinya masuk ke dalam daftar kaum Hatarakibaci. Beda ya sama kite-kite yang senang banget kalo banyak libur, gak mau lembur, tapi tetap pengin fulusnya ngucur, lol.


Jepang adalah negara penganut kesempurnaan. Segala sesuatunya dituntut untuk praktik sempurna. Jiro Dreams of Sushi membuat penikmatnya jadi banyak tau bagaimana Jepang mampu mempertahankan nilai-nilai hidup yang mereka anut hingga kini. Bagaimana budaya mereka akhirnya berimplikasi pada lahirnya citra Jepang di panggung dunia sebagai negara yang disegani. 


Jiro tangguh sedari kecil. Bagaimana tidak. Ia berasal dari keluarga tajir yang kemudian hidupnya berbalik arah ketika bisnis ayahnya gulung tikar. Lalu hidup sendirian diumurnya yang masih tujuh tahun.


Awal ia menikah pun masih sama. Cuma punya 10 yen di tabungan. Coba deh rupiahkan sendiri, hehe. Pergi kerja sedari subuh & balik ke rumah ketika anak-anaknya sudah tidur. Waktu magang, ia hampir tak dibayar sama sekali. Lalu apa dia nyerah ? Oh tentu tydack sodara-sodara. Ia terus berusaha & mengulang hal yang sama setiap hari. Ingat ya, mengulang hal yang sama setiap hari. Memperbaiki sedikit demi sedikit, untuk membuat sushi terbaik.


Tekunnya gak ada ampun. Selalu level up his skill. Ia juga mendorong kedua putranya, Yoshikazu & Takashi, untuk belajar & bekerja di kedai sushi miliknya. Mereka berlatih dengan keras. Tiap hari, selama persiapan sebelum kedai dibuka, Jiro selalu mencicipi sushi yang mereka buat & duduk makan bersama dengan para asistennya.


Bahkan malam sebelumnya, ia selalu berdiskusi dengan putra pertamanya, Yoshikazu, tentang rencana esok hari. Apa saja yang diinginkan oleh Jiro. Belajar teruuus, sampai putra keduanya, Takashi, dipercaya mengelola cabang.


Sangking besarnya nama sang ayah, para pelanggan selalu beranggapan bahwa sushi terbaik buatan Takashi pun rasanya nggak akan mampu menandingi sushi buatan ayahnya. Biasalah kayak gitu. Ketika ada dua hal yang mirip atau sama, pasti langsung dibandingin & dicari-cari perbedaannya. Kalo disini, selain dibandingin, bonus dijulitin pulak, langsung deh kenak mental, lol. 


Jiro punya akses khusus dengan yang terbaik. Pemasok tuna & udang terbaik. Pemasok beras terbaik. Mereka memahami kebutuhannya & ia pun royal terhadap mereka. 


Ia paham betul ikan apa yang sedang musim. Bagaimana memilih, menyimpan & mengolahnya. Bagaimana memotong ikan, mana yang harus tebal & mana yang harus tipis. Bagaimana menyajikan ikan agar suhunya terjaga & rasanya nggak berubah. Bagaimana agar tekstur ikan tetap kenyal tapi tetap mudah dikunyah. Seberapa banyak wasabi harus disertakan. Untuk menyajikan nasi aja nih, nggak main-main. Nasi harus punya daya ikat yang cukup agar nggak tercerai berai, bulirnya utuh, nggak lembek alias padat. Padahal kalo udah dicaplok sama aja ya, haha.


Ia seorang perfeksionis. Selalu ‘keras’ melatih muridnya. Mental kuat akan membawa mereka dekat dengan keahlian level dewa seperti yang dimiliki Jiro, tapi kalo tidak, mereka pasti langsung kabur dalam sehari, lol. Mereka benar-benar dilatih dengan serius, nggak sekedar magang disuruh cuci piring doank. Bahkan salah satu pelanggannya ada yang kini menjadi asistennya. Berlatihnya nggak sebentar, bertahun-tahun.


Aku sepakat dengan statement Jiro : untuk membuat makanan enak, kita mesti nyoba makanan enak. Ia mengatur pengelolaan food product dengan profesional, cooking method yang sempurna, penerapan hygiene & food serving yang baik. Itu semua membuat sushi yang ia hidangkan membekas panjang dalam ingatan.


Memasak itu soal intuisi, menurutku. Kita bisa saja mencicipi masakan yang sama tapi bisa berbeda jauh rasanya. Sebab intuisi nggak bisa dicuri. 


Dan makanan tak pernah disajikan sendiri. Ia selalu hadir bersama dialog manusia & cerita inspiratif di baliknya. Jiro menularkan cinta & ketulusan. Bahwa semua orang bisa menemukan, memiliki kecintaan & menularkan kegembiraan atas apa yang sedang dikerjakan.


Long life, Jiro ~

Friday, December 10, 2021

Pijakan Pertama Memulai Kolaborasi


Menggabungkan banyak kepala dalam suatu pekerjaan atau dalam suatu forum diskusi artinya harus mampu saling mendengarkan & berkompromi satu sama lain.


(Picture by Pinterest)


Tiap orang punya peran masing-masing & sama pentingnya. Ada yang lebih unggul mengutarakan ide & ada juga yang lebih nyaman mengembangkan ide yang sudah ada. Melengkapi satu sama lain tapi juga tetap menampilkan ‘warna’ tiap-tiap individu tanpa mengaburkan warna yang lain. 


Santai berbincang sebagai teman, tapi juga bersedia menurunkan ego untuk mendengar ide dari yang lain. Sehingga kita bisa tau mengapa ada yang punya sudut pandang berbeda jauh dengan kita. Bukan perkara mudah. Apalagi secara pribadi, terkadang sulit bagi saya untuk ikut memberi ‘warna’, tapi semua bisa dipelajari. Sama-sama belajar & perlu terus konsisten berlatih.


Sudah beragam agenda dilalui bersama. Tapi di sisi lain, ikut bertumbuh sebagai individu itu yang paling penting untuk saya. Banyak aspek yang jadi terlatih, tiga di antaranya adalah kemampuan management, sosialisasi & skill komunikasi. Terutama terhadap orang-orang yang terlibat secara langsung.


Menurut saya pribadi, salah satu parameter kolaborasi yang sehat adalah adanya mutual respect di antara orang-orang yang terlibat & memahami betul apa tujuannya :)


Pada akhirnya, kolaborasi atau bekerja bersama bukan hanya tentang mencapai tujuan bersama, tapi juga belajar memahami satu sama lain.


Saya percaya kemampuan untuk saling menopang, sehingga kita bisa menikmati setiap proses sebagai bentuk apresiasi terhadap hal baik yang sedang & akan terus berlangsung. 




Best Regards, Arif H Purwono

(Yang dipaksa ibu negara untuk menulis)


Wednesday, November 24, 2021

Anak Kedua & Cerita di balik Kelahirannya


Siang itu, Rabu 3 Nopember 2021, diusia kandungan 39 minggu, tiba-tiba ‘brown discharge’ menetes keluar, padahal tidak ada rasa mulas sebelumnya. Aku juga masih berbenah rumah seperti biasanya.


Aku pun inisiatif menghubungi pak suami “Yank… siap-siap ya, ini udah keluar cairan yang warnanya cenderung coklat. Mungkin kalo nggak nanti malam yaaa besok pagi kita ke klinik…”. Suami pun mengiyakan.


(Baca juga ya : Akhirnyaaa, Kabar Bahagia itu Datang)






Selepas Magrib, kami pun meluncur ke klinik pribadi Dokter Murtiningsih, Klinik Utama Sri Murti Husada, tempat yang sama dimana Diba dilahirkan 3 tahun lalu.


Setelah bertemu & menjelaskan apa yang terjadi ke bidan jaga, ia langsung melakukan VT (Vaginal Toucher) alias periksa dalam. Ternyata belum ada pembukaan serviks sama sekaliii, sodara-sodara. Tapi, ada bercak darah yang dicurigai sebagai plasenta previa. Karena belum ada kontraksi & pembukaan, aku memilih pulang dengan banyak tanda tanya.


Kamis, 4 Nopember 2021. Brown discharge makin banyak. Karena cemas & penasaran, akhirnya kami inisiatif menyusul Dokter Murti ke tempat praktiknya di RSUI Kustati. Selesai pemeriksaan, beliau memaparkan kondisi medis terakhir yang aku alami. Bayi sebetulnya sudah siap dilahirkan. Hanya saja, rahim dengan varises sangat ‘malas’ untuk berkontraksi. Sehingga sampai usia kandungan 39 minggu pun aku tidak merasakan mulas. Dan ternyata benar saja, letak plasenta ku pun menutupi sebagian jalan lahir.


Dari penjelasan Bu Dokter, aku baru tau bahwa varises bisa muncul dimana saja. Bahkan bisa ditemukan di jalan lahir (vagina), di rahim (uterus) bahkan di dubur. Terlalu beresiko kalo memaksakan diri untuk persalinan normal. Resikonya adalah pendarahan yang banyak akibat robeknya varises saat mengejan.


Rekam medis juga menjelaskan bahwa rahimku cenderung rapuh. Jaringannya rentan mengalami kerusakan & mudah mengalami pendarahan kalo tersentuh. Kaget juga, karena selama hamil, nggak pernah sekalipun mual muntah. Konsumsi makanan sehat, minum vitamin yang diberi oleh Bu Dokter, minum susu & madu, rutin memeriksakan kehamilan. Aku pikir kehamilanku baik-baik aja. 


Bu Dokter menyerahkan sepenuhnya pilihan proses persalinan ke aku. Karena kondisi si bayi juga sudah lemah & tidak mungkin melakukan induksi. Demi kesehatan & keselamatan, aku & pak Suami akhirnya memutuskan proses persalinan secara caesar, seperti yang disarankan juga oleh beliau.


Beliau menjadwalkan tindakan hari itu juga pukul 4 sore, tapi aku minta waktu untuk mengantar Diba ke rumah Mbahkung-nya (IYAAA… dalam kondisi urgent begitu, aku melakukan perjalanan 4 jam bolak balik nganter Diba supaya memastikan Diba bisa di handle langsung oleh Mbahkung-nya)


Setelah balik lagi ke RSUI Kustati, aku langsung menuju IGD & menyerahkan Surat Rujukan yang diberikan oleh Dokter Murti. Aku langsung diarahkan ke dalam bilik untuk diinfus & pak Suami menuju bagian administrasi untuk pendaftaran. Lalu, aku dibawa ke ruang ‘transit’ & berpuasa mulai pukul 12 malam, sambil menunggu proses persalinan yang ternyata dijadwalkan esok paginya pukul 05.30. 


Jumat, 5 Nopember 2021, pukul 5 pagi. Bidan mengantarku ke ruang rawat inap untuk bersiap mandi (IYAAA DOOONK, mau persalinan yaaa mandi dulu biar seger & wangi, lol). Setelah itu, aku dibawa menuju ruang persalinan.


Di ruangan itu, aku benar-benar single fighter. Nggak ada suami atau kerabat yang menemani. Aku justru ‘dikeroyok’ oleh beberapa paramedis & dokter-dokter spesialis. Kemudian, tirai dibentang melintang di atas dada ku. Proses suntik bius pun dilakukan. Aku tetap sadar ketika proses SC berlangsung. Mataku masih segar banget. Hanya setengah badan ke bawah yang hilang rasa. Gerakkin jempol kaki aja nggak bisa. Tapi, selain bunyi hospital beeps, aku masih sedikit overheard obrolan Dokter Murti & partner-nya sepanjang operasi berlangsung. 


Berbeda dengan proses kelahiran Diba, persalinan kedua ini cukup lama, kurang lebih 2,5 jam. Aku juga mengalami muntah-muntah saat prosesnya berlangsung. Tapi, setelah mendengar tangisannya, aku LEGAAAAA :’)


Setelah tindakan SC selesai, aku dibawa ke sebuah ruang observasi untuk memantau kondisiku pasca persalinan. Di sana juga ada ‘tetangga’ alias pasien lain selain aku. Di ruangan itu, tekanan darah & suhu tubuhku terus dipantau. Lalu setelah kurang lebih 2 jam, aku dipindahkan ke ruang rawat inap. Dengan kata lain, bersiaplah merasakan berkurangnya efek bius yang perlahan tapi pasti !


Karena kadar Hb ku pasca operasi terjun payung dibanding sebelum operasi, maka transfusi darah harus dilakukan. Prosesnya nggak berjalan mulus. Darah macet diselang infus. Sampai harus lepas pasang jarum berkali-kali & itu bikin ngilu !


Untuk sementara waktu, aku juga belum boleh makan atau minum. Hampir 12 jam. Ngelaaaaakkk cyaaak, lol. Tapi, dalam waktu itu, secara bertahap & sedikit demi sedikit, aku mulai diberi minum air putih hangat, susu putih cair & makanan lunak semacam bubur gitu. Baru kemudian boleh makan nasi.


Si bayi pun langsung ditaruh di kamar bersamaku. Aku mulai latihan tidur miring kanan kiri sambil menyusui. Beuh, rasa (sakitnya) warbyasaaak ! Pelan-pelan latihan duduk & jalan. Yaaaa, itu semua aku lakukan dihari pertama :’)


Tiap beberapa jam, mbak perawat masuk ke ruanganku. Cek tekanan darah, cek infus dan sebagainya. Setiap masuk, aku selalu ditanya :

“udah latihan miring kiri kanan, mbak…?”

“udah bisa duduk…?”

“udah kentut belum…?”

Untuk pertanyaan yang ketiga, rasanya aku pengen banget jawab “mau bukti niiiihh mbaknyaaaah…” :)))


Btw… sangking nggak kuatnya dengan rasa ngilu di tangan, aku memaksa mbak perawat untuk melepas infus sekaligus kateter meskipun belum waktunya. Entah bagaimana pertimbangannya, Dokter Murti mengizinkan. Akhirnya, aku bisa bebas berjalan. Thank youuuu, Bu Dok :’)


Long story short, setelah 3 hari di rumah sakit. Minggu, 7 Nopember 2021, aku diperbolehkan pulang.


Terima kasih banyak Bu Dokter Murtiningsih, Sp.OG beserta team & paramedis yang membantu proses kelahiran adiknya Diba. Bu Dokter yang selalu sabar & tenang menghadapi pasien bandel sepertiku. One of the best Obgyn Doctor i’ve ever met so far. Semoga Allah SWT selalu menganugerahi beliau kesehatan yang prima. 


Welcome Home, Farabiy E.A ~