Monday, March 19, 2018

Review : Saman (By Ayu Utami)


Sebenarnya, sudah kali keempat buku ini aku baca sejak memilikinya beberapa tahun lalu. Sering gagal paham sebab konteks alurnya yang maju mundur. Begitulah karakter (sebagian) manusia. Makin gagal paham, makin membingungkan, makin penasaran, makin jatuh cinta dibuatnya...






Sekelumit Tentang Isi

Terbit pertama kali pada tahun 1998, Saman mengangkat isu seputar perjuangan, pengorbanan, moralitas, spiritualitas, dan seksualitas. Tentang sisi lain kehidupan dan perjuangan rakyat kecil di daerah, yang cukup berani disuarakan menjelang runtuhnya Orde Baru. Tentang para pekerja yang menjadi korban eksploitasi alam besar-besaran oleh oknum rakus. Tentang kehidupan seks tanpa pernikahan. 


Tokoh dan Karakter

Diawali dengan cerita tentang Laila yang tengah menunggu kekasih nya di Central Park, New York. Sejak kali pertama bertemu, Laila sudah teramat memujanya. Begitulah cinta (yang salah), bisa menancap dihati siapa saja tanpa pandang bulu. Ya ! Laila jatuh cinta dengan pria beristri bernama Sihar Situmorang, seorang Insinyur analis kandungan minyak, sejak pertemuan keduanya di rig pengeboran minyak lepas pantai, di Laut China Selatan. Layaknya gayung bersambut, perasaan Laila pun berbalas, pria bertubuh hitam nan atletis itu pun menaruh hati padanya. Lalu hubungan rahasia itu menghasilkan sebuah persetubuhan yang terus menerus diinginkan Laila.


"Barangkali saya terobsesi pada dia, yang bayangannya selalu datang dan jarang pergi"


Kisah Laila dan Sihar kemudian melibatkan Wisanggeni yang karakternya membuat gue sangat menyukai buku ini. Sungguh tak gentar perjuangannya memperbaiki perkebunan karet dan menyelamatkan hak petani di Lubukrantau dari oknum-oknum rakus yang ingin menjadikannya perkebunan sawit. Ia membersihkan akar pohon karet yang mulai dihinggapi benang-benang hifa, mencabut akarnya sampai habis, lalu membakarnya. Tak berhenti sampai disitu, ia pun mengunjungi kantor-kantor berita surat kabar dan LSM untuk menyuarakan perjuangannya menentang ketidakadilan.


Oknum-oknum rakus tersebut nampaknya tak kehabisan akal. Mereka terus menerus meneror, merusak perkebunan karet, membakar rumah-rumah warga, dan menutup desa. Wis pun ditangkap dan dianiaya oleh oknum militer itu sebab ia dituduh sebagai pemberontak dan tak mau menjelaskan dimana tempat persembunyian kawan-kawan seperjuangannya. Beruntung, peristiwa kebakaran itu dan beberapa pemuda Lubukrantau berhasil 'menyelamatkan' Wis. Dianggap sebagai buron, statusnya sebagai Pastor pun dicabut. Ia pun mengubah identitas nya dengan nama Saman dan bekerja di markas Human Right Watch, sebuah organisasi yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia.



"Tak terbayang apakah dari gedung ini orang-orang yang tak pernah melihat secara langsung problem sanggup merasakan apa yang terjadi di ujung bumi lain, yang jaraknya berbeda siang dan malam - kekejamannya, juga humornya" 


"Dunia ini penuh orang jahat yang tidak dihukum. Mereka berkeliaran. Sebagian karena tidak tertangkap, sebagian lagi memang dilindungi, tak tersentuh hukum atau aparat"




Tak satupun dari mereka tau bahwa keberadaan Wis (Saman) di Lubukrantau sesungguhnya juga karena Upi, perempuan yang tak mampu mengontrol tingkah lakunya. Perempuan yang mereka anggap gila dan cacat. Ia membangun sebuah 'rumah' baru untuk Upi agar perempuan yang disayanginya itu dapat hidup layak dan nyaman. Dari tokoh Upi, unsur seksualitas abnormal dalam buku ini makin terasa. Ia suka menggesek-gesek selangkangan nya pada batang pohon, kerap menyiksa dan memerkosa hewan-hewan ternak milik tetangga, dan menjadi ganas seminggu menjelang waktu haid tiba. Bahkan Upi teramat menikmati ketika tubuhnya diperkosa oleh lelaki yang tidak dikenali nya. Malang tak dapat ditolak, ia justru mati dibakar oleh oknum-oknum gila itu.


Lalu ada kisah Laila dengan sahabat-sahabatnya, Shakuntala, Cok, dan Yasmin yang juga mengenal Saman. Kecuali Laila, mereka adalah orang-orang yang tak menganggap pernikahan suatu perjalanan penting dalam hidup. Shakuntala, perempuan over protektif dan sahabat paling dominan dalam kehidupan Laila. Yasmin, paling pintar di antara mereka. Sementara Cok, paling periang, paling bawel, dan satu-satunya di antara mereka berempat yang tak pernah bermain-main dengan laki orang.


Latar dan Alur Cerita

Buku ini punya alur mundur lalu maju. Awalnya menceritakan Laila yang berada di Central Park, New York. Lalu mundur pada pertemuannya dengan Sihar dan Wisanggeni. Kemudian mundur kembali dengan cerita mengapa Wis mengubah namanya menjadi Saman. Lalu menjelang akhir cerita, pembaca akan mendapati benang merah dari keseluruhan cerita mengapa Laila berada di Central Park, ternyata bukan hanya tentang 'keinginannya' pada Sihar, namun juga karena Shakuntala yang sedang belajar tari di New York.


Latar tempat dan waktu yang diceritakan dalam buku ini cukup banyak. Namun, gue sangat terbantu menemukannya. Sebab judul tiap bab dalam buku ini menjelaskan detail dimana lokasi cerita diambil dan kapan peristiwa dalam cerita terjadi. Mulai dari New York, Laut China Selatan, Pulau Matak, Perabumulih, Lubukrantau, dan lain-lain.


Yang Menarik dari Buku Ini

Dari kisah yang dipaparkan oleh Ayu Utami sebagai penulis, banyak sekali diksi-diksi yang dianggap oleh sebagian orang terlalu vulgar. Aku sendiri agak-agak 'ngilu' ketika membacanya. Namun, seorang Ayu Utami selalu berhasil membuat pembaca nya takjub. Perbendaharaan katanya sangat luas, imajinasi nya seakan tak terbatas. Berani menuangkan kata-kata yang cukup frontal, dimana saat itu, kebebasan pers sangatlah terbatas. Segala penerbitan baik buku maupun media cetak, berada dalam pengawasan ketat pemerintah dan 'golongan' atas. Keberanian Ayu Utami inilah yang menyebabkan Ayu Utami dikenal sebagai penulis yang hebat.


Aku sangat menikmati buku ini. Cukup berat namun tak memberatkan. Menegangkan juga menggelikan. Aku pribadi butuh empat kali membaca untuk benar-benar memahaminya. Meningkatkan wawasan dan pemahamanku sebagai pembaca tentang kebobrokan Orde Baru, tentang sisi lain perjuangan dan pengorbanan rakyat kecil di daerah, tentang betapa busuk dan kejamnya cara beberapa korporasi di Indonesia saat itu meraup profit dengan merusak alam. Bacaan yang sangat apik bagi teman-teman yang ingin 'nyemplung' dalam literasi sastra Indonesia.




Sampai bertemu di book review Ayu Utami yang lain...

Selamat Membaca !

Tuesday, March 13, 2018

Review : Kenanga (By Oka Rusmini)


Ternyata bukan tanpa alasan ya mengapa 'Sejarah' diajarkan pada kita sejak mulai di Sekolah Dasar. 


Meski hanya sebagian kecil yang suka mempelajarinya, kenyataannya Sejarah dan Budaya selalu menyertai perjalanan bangsa kita. Selalu saja ada orang-orang yang menulis dan menceritakan bagaimana tradisi dan unsur-unsur budaya masih menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat kita di Indonesia.


Salah satunya cerita dalam novel karya Oka Rusmini.


Sekelumit Tentang Isi

Kenanga karya Oka Rusmini mengisahkan tentang bagaimana kebesaran budaya yang luar biasa di Bali. Bagaimana masyarakat Bali masih berjalan di atas sistem hierarki kasta yang diwariskan secara turun temurun.


Tokoh dan Karakter

Kenanga sebagai tokoh utama adalah seorang Dosen Sastra dan perempuan bangsawan yang terlahir dari keluarga Brahmana. Seorang perempuan penuh impian dan pekerja keras yang harus menjaga dan mampu bertahan dalam cinta yang tersembunyi. Perempuan cerdas dan mandiri yang memiliki apa yang juga diinginkan oleh banyak perempuan lain di Bali ; pendidikan tinggi dan karir yang sempurna. Namun, gelar bangsawan itu tak sepenuhnya membuat hidup Kenanga sempurna. Ia belum juga menikah. Tetapi, seorang anak perempuan bernama Luh Intan hadir dalam hidupnya.


Sejak awal kedatangan Luh Intan, hidup Kenanga berubah, tak lagi ia merasa kosong. Kenanga begitu menyayanginya. Ia penuhi semua kebutuhannya. Dididiknya Luh Intan untuk tumbuh menjadi perempuan tangguh, bertanggung jawab, dan punya harga diri tinggi. Rasa cinta Kenanga padanya begitu besar. Luh Intan tinggal di Griya bersama Ratu Ibu dan Ratu Aji, kedua orang tua Kenanga dan Kencana. Ia pun tetap berusaha menempatkan dirinya sebagai Abdi dalam keluarga itu. Ia lebih banyak mengurus rumah dan menjahit perlengkapan upacara. Ia juga mahir membuat dan menyiapkan sesaji. Mengerjakan tugas-tugas sekolah Dayu Sekar, sepupu Luh Intan. Tak ada satu orang pun di Griya yang tau bahwa sesungguhnya Luh Intan adalah benih keturunan dari Kenanga dan Bhuana. 


Sementara di sisi lain, Bhuana adalah suami sah Kencana, adik kandung Kenanga. Seorang dosen yang juga berprofesi sebagai dokter. Mereka menikah dengan luka yang begitu nikmat menganga. Menikahi Kencana namun sesungguhnya cinta Bhuana hanya untuk Kenanga.


Lalu ada seorang Dosen Arsitek berusia lebih muda bernama Mahendra muncul dalam hidup Kenanga. Laki-laki Bali yang menghabiskan masa kecilnya di Jakarta. Laki-laki yang sangat mengagumi Kenanga. Hingga sikapnya membuat Bhuana cemburu. Namun, Mahendra tau bahwa sesungguhnya perasaan cintanya hadir untuk Luh Intan. 


Ada pula beberapa tokoh minor lainnya, seperti Profesor Rahyuda, Profesor Hiroshi Ozu, Kemuning, Dayu Sari, Dayu Gelung, Gus Bayu, Tuniang Meme, dan lain-lain.


Alur dan Latar

Alur ceritanya rapi. Konflik cerita yang dialami tokoh utama terasa dekat, sering kita jumpai atau alami di kehidupan kita sehari-hari. Dari cerita dalam buku ini, kita akan menemukan beberapa latar yang sangat menarik, misalnya latar kota Jogjakarta dan tentu saja Bali. Jogjakarta adalah kota tempat Kenanga menempuh S2. Sementara di Bali, terdapat latar Griya, Kampus, tempat praktik Bhuana, dan lainnya.


Penggambaran yang dituangkan Oka Rusmini dalam tulisannya sangat apik. Bahasa yang digunakan penulis pun sangat sederhana sehingga kita sebagai pembaca tidak kesulitan mengimajinasikannya.


Yang Menarik dari Buku Ini

Yang membuat buku ini menarik ialah cara bercerita dan pesan yang ingin disampaikan oleh Oka Rusmini. Buku ini meningkatkan pemahamanku sebagai pembaca tentang istilah-istilah dan hukum adat di Bali. Tentang bagaimana masyarakat Bali dalam hubungannya dengan kasta dan lingkungan kehidupannya. Tentang bagaimana perempuan Brahmana hanya boleh dinikahi oleh laki-laki Brahmana, sementara laki-laki Brahmana boleh menikahi perempuan yang berbeda kasta. 


Kisah Kenanga di buku ini cukup menarik simpatiku sebagai sesama perempuan. Begitu tegar dan kuatnya tokoh Kenanga menyimpan rapat rahasia tentang Luh Intan. Kehidupan yang dijalani oleh Luh Intan pun sarat dengan perjuangan. Menyadarkanku bahwa kehidupan itu amat keras. Bahwa yang terbaik hanya akan datang pada mereka yang sungguh-sungguh memperjuangkannya.

Monday, January 29, 2018

Tentang Ruang Sederhana Untuk Bertumbuh


Aku percaya, bahwa sosok orang tua ada dalam diri kita semua. Dua sosok yang selalu memastikan hal sekecil apa pun pada kita berada dalam rel-nya dan menghendaki kehidupan kita berjalan sempurna. Kita tumbuh bersama doktrin yang mereka tanamkan dan impian yang kita pelihara.


Meski ia tak pernah sekali pun membicarakannya, kami tahu, Ayah ingin menemukan masa kecilnya kembali. Membangun rumah kecil dan membiarkan halamannya tetap luas. Bukan rumah minimalis modern ala-ala Amerika, Eropa atau sejenisnya. Tak muluk-muluk, hanya sebuah rumah ukir Limasan serba klasik, etnik, tradisional, tanpa banyak pintu, dengan halaman yang lapang.



Yang ternyata impiannya itu sejalan dengan impian suami saya. Pantas saja kami berjodoh ! Hahahaaa... nggak gitu, deng :)





Monday, January 22, 2018

Memberi Reward Untuk Diri Sendiri


Ada momen dimana kita ngerasa senang saat orang lain berlaku baik ke kita. Walopun dengan hal kecil, efeknya ke kita bisa besar banget. Ehm, tapi kita nggak bisa berharap orang lain untuk terus berbuat baik ke kita, kan ? Daripada menunggu, ada baiknya meluangkan waktu untuk menghadiahi diri.


Bagi saya, menghadiahi diri bukan perkara mementingkan urusan pribadi. Melainkan bentuk apresiasi atas usaha dan kerja keras yang sudah saya lalui. Berusaha mentreat diri sebaik mungkin. Memberi penghargaan untuk tubuh dan pikiran yang udah bekerjasama mewujudkan maunya saya. Bukan hanya ketika berhasil mencapai goals yang saya punya, tapi juga ketika hasil yang dicapai ternyata jauh di bawah ekspektasi saya.








Nggak harus menghadiahi diri dengan barang-barang branded, kok. Barangkali hal-hal sederhana ini bisa jadi pilihan untuk menghadiahi diri dengan lebih bijak :


  • Open Minded
Kita paham, manusia memang nggak diciptakan untuk hidup statis. Ada sisi hidup yang manis dan ada yang pahit. Ada kerja keras yang berhasil dan ada yang gagal. Saya rasa orang di luar sana pasti pernah ngerasain yang namanya 'gagal', apapun bentuknya. Begitu pun saya. Ada harap yang harus pupus, ada mimpi yang harus tenggelam. Saat itu saya hanya berpikir gimana cara agar saya ikhlas. Saya harus bisa menumbuhkan tunas baru. Saya nggak boleh fokus disitu-situ aja. Saya harus berdamai dengan diri sendiri dan membuka diri dengan hal baru.



Pikiran yang terbuka membawa saya pada sudut pandang baru untuk evaluasi diri. Ketika kita gagal dengan satu impian, kita tetap akan jadi manusia yang bertumbuh dengan impian lain. Kita akan tetap belajar memahami impian, memberi ruang untuk impian, belajar bersama impian, dan siap berjuang demi impian. It could be something that helps us evolve as a person. Never ending learning process inilah yang mengarahkan kita untuk memilih jalan hidup seperti yang kita inginkan.



  • Commited to Always Doing Good

Pemberian terbaik yang saya lakukan bagi orang lain selama hidup akan jadi 'bekal' perjalanan paling indah yang bisa saya beri untuk diri sendiri. Barangkali saya termasuk manusia yang gampang banget dibuat bahagia. Cukup dengan melakukan berbagai laku sederhana seperti menjaga jadwal makan, makan bareng sahabat, merapikan dan mempercantik rumah, belanja di pedagang pasar tradisional tanpa menawar, menyiapkan makanan terbaik, menyapa tetangga tiap kali bertemu, mengunjungi keluarga, memaafkan orang lain atas kesalahan yang terjadi di masa lalu, dan nggak lupa untuk mengucap terima kasih. Berusaha komit untuk selalu berbuat baik hingga kelak saya bisa menjawab bagaimana hidup saya berarti.



  • Bough Some New Books
Orang-orang terdekat saya tau kalo saya adalah orang yang impulsif terhadap satu hal : belanja buku. Pernah saya ke toko buku, mengambil 15 buku sekaligus dan menghabiskan nggak kurang dari 2 juta rupiah untuk itu. Saya butuh buku itu dan saya membelinya. Tapi juga kadang saya nggak punya alasan sama sekali saat belanja buku tertentu. Yaaa karena bagi saya, kita nggak perlu alasan khusus ketika menghabiskan sejumlah uang untuk sesuatu yang bisa kita wariskan. As simple as that :)



  • Be Thankful For Everything We Have & We Don't Have

Katanya, gagal tuh mendewasakan. Barangkali itu benar, se-nggaknya benar bagi saya. Apapun kegagalan yang terjadi dan segala hal saya miliki saat ini, itulah yang membentuk diri saya. Suami, keluarga, dan sahabat yang saya pilih menjadi tempat untuk mempercayakan banyak cerita. Dan apapun yang nggak bisa saya punya, saya anggap itu sebagai salah satu bentuk kasih sayang dan penjagaan diri saya oleh Yang Maha Kuasa. Tapi, kita nggak perlu gagal dulu kan untuk jadi dewasa. Pokoknya, banyak-banyak berterimakasih aja :)




Semoga kita nggak pernah lupa untuk berterimakasih pada diri sendiri, yaaa ~

Thursday, December 28, 2017

Candu Baca Buku


Cukup tersentak melihat kekhawatiran seorang bapak di salah satu media sosial, tentang rendahnya minat baca anak-anak jaman sekarang, yang lebih menyukai edukasi dan hiburan menggunakan audiovisual. Lebih menikmati YouTube daripada membaca ensiklopedia. Lebih senang main gadget daripada belajar aksara. 'Kids jaman now' memang sudah berbeda, ya. Kata mereka, baca buku itu 'so last year' banget, sudah nggak jaman :(


Saya bersyukur sejak kecil sudah diperkenalkan dan diajarkan oleh Ayah untuk menyukai buku. Saya ingat, Ayah membawakan sebuah buku berjudul The Lost Boy karya Dave Pelzer, yang sebenarnya buku tersebut terlalu berat untuk bisa dinikmati oleh anak perempuan yang masih berusia 8 tahun kala itu. Buku yang akhirnya saya baca kembali dan baru bisa saya pahami ketika masuk sekolah menengah.


Buku yang diangkat dari kisah nyata tentang seorang anak laki-laki broken home yang juga mengalami child abuse, hingga ia pun hidup dalam ketakutan dan keterasingan meski tinggal bersama ibunya. Sejak baca buku itu, saya makin bersyukur sudah dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang melakukan perannya dengan baik, menyayangi dan memenuhi semua hak saya sebagai seorang anak.





Sejak itu pula, saya mulai kecanduan membaca. Tiap kali libur, saya meminta Ayah mengantarkan ke toko buku untuk sekedar baca-baca serial Goosebumps dan Detective Conan yang selalu saya tunggu-tunggu. 


Lalu kecanduan ini semakin menggila saat kuliah. Saya berani memangkas separuh uang saku di awal bulan demi nggak ketinggalan punya majalah dan buku favorit saya ; National Geographic, buku-buku karya Ayu Utami, buku-buku karya Windy Ariestanty, dan buku-buku karya  Ika Natassa. Nggak pernah menghitung secara pasti berapa buku yang sudah saya baca.



Saya memilih untuk berbuat sesuatu



Yaaa... saya memilih untuk berbuat sesuatu. Menyewa satu kamar tambahan di samping kamar kost khusus untuk menyimpan koleksi buku-buku dan membangun 'perpustakaan kecil' di dalamnya. Memberi ruang bagi teman-teman kost untuk bebas membaca. Memulai dari hal kecil seperti ini untuk menumbuhkan minat baca. Lalu tiap satu buku yang jadi penghuni baru di rak buku, selalu saya selimuti dengan sampul plastik. Saya bubuhi tanda tangan dan tanggal pembelian. Iya, saya senang melihat buku-buku tersusun cantik dan rapi.


Pergi kemana pun, sebisa mungkin saya bawa buku untuk baca-baca. Bawa satu atau dua buku saja. Sebab bisa jadi bukunya akan bertambah ketika pulang, hahaaa


Dari menyukai buku, gue belajar bagaimana 'merelakan' untuk mengusahakan 'sesuatu' yang lebih besar manfaatnya



Melalui buku The Journey yang berisi 12 kisah perjalanan yang dikemas dalam 12 cerita berbeda, kolaborasi Windy Ariestanty dengan penulis-penulis kece lainnya seperti Alexander ThianTrinityValiant Budi, dkk yang sudah khatam banget soal menulis kisah perjalanan, saya seperti sedang berada di Lucerne, Spanyol, Tel Aviv, Mekkah, New York, Andalusia, dan sedang menikmati tempat-tempat cantik di luar sana. Kisah mereka memberi percikan semangat yang besar. Hingga akhirnya patah hati membuat saya menemukan perjalanan sendiri :)


Saya salut dengan keberanian seorang Ayu Utami bicara tentang seksualitas, cinta, dan nafsu dalam bukunya 'Pengakuan Eks Parasit Lajang'. Saya kagum bagaimana ia dengan berani menggunakan kosakata tabu tanpa membuat para pembacanya berpikiran kotor. Entah nyata atau tidak, tiap kalimat yang ia tuangkan dalam semua bukunya terasa penuh dengan kejujuran. Gaya bahasanya sangat argumentatif dengan penuturan bahasa sastra yang sangat apik.



Dunia ini penuh orang jahat yang tidak dihukum. Mereka berkeliaran. Sebagian karena tidak tertangkap, sebagian lagi memang dilindungi, tak tersentuh hukum atau aparat (Saman by Ayu Utami)



Dari buku pula, saya mengerti bagaimana rasanya bahagia tanpa gadget dan jauh dari hingar bingar media sosial. Ketika ingin bertemu kenyamanan tanpa diganggu oleh apapun dan siapapun, maka teman terbaik adalah buku.


Jadi ketika ada yang bertanya hobi saya apa, baca buku jawabannya. Tentang hobi jalan-jalan, apalagi belanja, aahhh sudahlah. Itu hanya persoalan duniawi yang tak akan kunjung selesai kalau saya terus mengejarnya. Perjalanan dan pengalaman hidup akan mengisi saya dengan berbagai ilmu dan rasa. Sebab banyak hal di dunia ini yang belum saya tau. Membaca, cara saya mengisi hidup dengan ilmu dan rasa itu.