Wednesday, November 6, 2024

Kembali ke Alam

 

Pergi ke alam, walaupun sebentar, ternyata cukup ampuh menjadi terapi untuk menenangkan diri dari berbagai kesibukan tanpa jeda. Keinginan itu akhirnya terpenuhi sebulan lalu ketika kami berplesir ke kediaman salah satu teman di Desa Segoro Gunung, Karanganyar.





Segoro Gunung


Kami sampai ketika waktu menunjukkan pukul sebelas lebih, hampir mendekati Dhuhur. Ajaibnya, udara masih terasa sejuk dan segar. Tak ada bising motor kebut-kebutan. Aku sempat berkeliling sebentar. Suasananya mirip-mirip dengan desa tempat tinggal ayah selepas pensiun. Lingkungannya terasa hidup, hijau-hijau sejauh mata memandang. Vibes-nya seperti game Harvest Moon. Sebagai orang yang dikit-dikit gobyosan, di sini aku merasa bisa bernafas dan bergerak dengan lebih leluasa.






Lihat hamparan langit di belakang atas kita ~






Orang-orang di Desa Segoro Gunung, rupanya terbiasa menghadirkan makanan sehari-hari dari bahan mentah yang dihasilkan sendiri dengan bercocok tanam atau berkebun di pekarangan rumah. Ada pula yang bertani bersama kelompok lain. Pagi-pagi sekali, mereka sudah berangkat dengan membawa bekal. Karena berada pada dataran tinggi, sayur mayur bertumbuh baik di sini. Beberapa hasilnya seperti kentang, tomat, wortel, kubis, kol, buncis, sawi, daun bawang dan lainnya, mereka sulap menjadi menu makanan untuk disantap bareng keluarga. Sangking berlimpahnya, boleh ku tebak, mereka tak mungkin mengalami defisit bahan makanan. 


Terlepas dari problematika yang mereka hadapi yang barangkali aku tidak tahu, bagiku, merekalah garda terdepan pelestari alam. Sebab, merekalah orang-orang yang hidup berdampingan dengan alam. Merekalah orang-orang yang terlibat langsung dengan produksi bahan makanan kita. Merekalah petani-petani sayur yang survive memanfaatkan lingkungan di sekitarnya. Air alam betul-betul dimanfaatkan untuk mengairi lahan dan menyirami sayur mayurnya. Kalau sedang tidak punya stok sayur, mereka biasa langsung nyuwun ke tetangga. Seperti yang diceritakan oleh ibu teman kami. 


Di sisi kehidupan yang lain, hidup di desa ternyata juga tidak sesederhana isi kepalaku. Waktu si Ibu bercerita soal ini, seketika aku jadi teringat cerita ayah yang sama persis. Hajatan bukanlah perkara sepele. Rangkaian acaranya bisa memakan waktu berhari-hari. Tetangga sudah seperti keluarga sendiri. Jadi, kapan pun tetangga punya acara, kita harus siap jadi sobat rewang. Seperti ketika tetangga depan rumah si ibu punya hajatan. Dan, nyatanya, mereka benar-benar tak keberatan sama sekali untuk itu. Senang-senang saja. 


Tepat setelah Dhuhur, Ibu sudah menyuruh kami masuk rumah untuk makan siang. Sop daging sapi, tempe mendoan, ayam goreng plus sambal dan lalapannya sudah melambai-lambai di depan mata. Tak perlu ditanya lagi bagaimana enaknya. Gasss pwoool. Mau nambah, malu, hwahaha. Feel-nya benar-benar berasa dapat banget sebab tahu semua bahan-bahannya dari hasil kebun yang diolah sendiri.


Pesta Sop Daging & Mendoan ~


Tak hanya bahagiaku yang bertumbuh. Plesiran kali ini juga membuka mataku soal kehidupan petani sayur mayur. Waktu kami berpamitan pulang, beliau sibuk membekali kami dengan seplastik penuh oleh-oleh. Tebak isinya apa ? Iya guys... sayur mayur. Untuk pertama kalinya, plesiran, membawa pulang oleh-oleh hasil bumi.




Semoga, sepanjang tahun, tak ada jeda untuk membiarkan lahan terbengkalai tanpa tanaman sayur mayur yang tumbuh subur, di sini ~