Tuesday, March 27, 2018

Catatan Spiritual Menuju Pernikahan


Terus terang, niat untuk menikah sudah ada di benak saya sejak awal menempuh studi S2. Tapi karena beberapa kendala, Thesis yang harusnya bisa segera diselesaikan, justru tidak ada kemajuan apa-apa selama hampir 1 tahun.

Kala itu, saya merasa butuh memikul tanggung jawab lebih besar agar saya mampu menyelesaikannya dengan lebih berani. Saya berpikir bahwa menghadapi semua tantangan itu akan jauh lebih mudah kalau saya punya pasangan. Dan satu-satunya jalan untuk mewujudkannya adalah dengan menikah.





Pertanyaan pertama kedua orang tua saya ketika saya membicarakan rencana pernikahan pada mereka, bagaimana kamu akan menghidupi istrimu sementara kamu masih sekolah ? bagaimana dengan orang tuanya ? 


Satu hal yang saya yakini. Perhitungan matematis Allah tidak sama dengan perhitungan matematis manusia dan saya membuktikannya sendiri. Saya berterus terang pada Ayah dari (calon) istri saya bahwa saya masih dalam proses menyelesaikan studi S2 dan penghasilan yang saya punya tidak lah banyak. Beruntung, saya memiliki (calon) mertua yang sangat bijaksana.


Beliau memberi kepercayaan pada saya dengan amanah, bahwa saya harus mampu menjadi suami yang bertanggung jawab untuk memimpin dan menafkahi keluarga, dengan cara apapun yang Allah mudah kan untuk saya. Bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang lebih menyejukkan pandangan hatinya selain ketika melihat anak-anak, menantu, dan orang-orang yang ia sayangi taat pada Allah. Bahwa siapapun yang taat pada-Nya, DIA akan jadikan baginya kemudahan dalam segala urusannya. (Calon) istri saya menerima saya atas dasar keyakinan penuh pada Tuhan Yang Maha Pengasih.


Kami menikah dengan sangat sederhana. Berusaha tidak membebani siapa-siapa. Tanpa dekorasi mewah dan bukan dalam gedung megah. Dengan sebaik-baik mahar dari kerelaan saya memberi dan keikhlasannya menerima. Dihadiri keluarga dan teman dekat, tanpa banyak tamu undangan. Tanpa musik dan hanya diiringi dengan lantunan doa tulus dari orang-orang yang mengantarkan keberkahan pada kami. Mungkin terbesit tanya dan anggapan miring dari banyak orang tentang pernikahan sederhana kami. Tidak apa-apa, asal niat baik ini sesuai dengan perintah-Nya saja bagi saya sudah cukup. Berjabat tangan dengan Ayah nya dalam satu tarikan nafas, lalu detik itu juga berpindah lah tanggung jawab Ayah nya pada saya.


Diawal pernikahan kami, rasanya bagai naik pesawat yang mengalami turbulensi. Gonjang ganjing. Menyesuaikan karakter, pola pikir, gaya hidup, dan latar belakang keluarga yang berbeda ternyata bukan perkara mudah. Membagi waktu untuk menyelesaikan kuliah dan menjalani kehidupan baru kami rasanya cukup berat. Amat menguras energi. Entah berapa kali kaki ini seperti tak dapat menyangga tubuh agar mampu berjalan seimbang. Sering merasa, saya membuat kehidupannya tak lebih baik setelah menikah. Kehidupan sosialnya berubah. Tak ada kemewahan yang saya beri untuknya selain makanan halal dan atap untuk berteduh. Tapi doa dan keyakinan membuat kami kuat. Saya lulus dan tak lama kemudian bekerja sesuai dengan bidang keilmuan saya.


Saya sangat bersyukur, dianugerahi seorang perempuan tangguh dan pemberani. Perempuan yang sangat mencintai apa-apa yang Allah anugerahi ada dalam dirinya. Bersedia mendampingi dan kuat berjuang dari bawah membangun sebuah keluarga yang utuh. Saya bersyukur atas gemblengan hidup yang kami terima. Menguatkan keyakinan saya bahwa ujian ini ada tujuannya. Kalau kami tidak pernah menjalani kehidupan penuh ujian, saya justru khawatir, bagaimana mungkin DIA akan meninggikan derajat kami ?


Kini sudah hampir 3 tahun kami bersama. DIA memberi penghidupan yang layak buat kami dengan banyak cara yang tidak kami pahami. Cukup dan tidak berlebih-lebihan, untuk kami dan orang di sekitar kami. Ketika kami butuh sedikit, DIA cukupi yang sedikit itu. Ketika kebutuhan kami semakin besar, DIA pula yang memberi jalan keluar untuk mencukupinya. DIA Maha Penyayang. Diberinya kami ujian agar kami mendekat, memohon pertolongan, dan merasakan kasih sayang Nya. Memberi kami kemampuan untuk mencintai-Nya lebih dalam. 


Lalu kalau saya ditanya, akan kah menyarankan kalian yang belum lulus kuliah atau bahkan sudah bekerja agar mengikuti cara saya untuk segera menikah ? Jawaban saya, tergantung kondisi dan kesiapan kalian masing-masing. Menikah sebelum lulus kuliah tanpa perencanaan, bisa saja membawa kemudhoratan. Tapi menunda pernikahan sebab alasan menunggu mapan, padahal kemampuan sudah diberikan, juga bukan hal yang baik. Ingatlah bahwa dunia selalu menyuguhkan tantangan tanpa henti. Menikah itu akan sepaket dengan resikonya. Jangan pernah takut. Banyak-banyak meminta dan nikmati saja prosesnya. Semoga Allah menguatkan keyakinan kalian dan memberi kalian kemudahan...




Arif Hidayat Purwono

Solo, Maret 2018