Thursday, June 13, 2019

Habis Lebaran, Terbitlah Manusia-Manusia Lebar-an


Lebarannya memang sudah habis, gaes. Aroma gurih yang menyeruak dari kepulan asap kuah kaldu bakso, puding buah dan cake ala Holland Bakery, keragaman kue kering khas lebaran macam nastar, kastengel, dan kawan-kawan yang kemarin menghiasi meja tamu rumah ayah, serta minuman kaleng yang tersusun rapi di lemari pendingin, sudah mulai hilang dari peredaran. Acara cipika cipiki serta percakapan basa basi ala "hay apa kabar ?" atau "sehat kak ?" atau "kok gendutan !" ke saudara yang jarang bertemu, juga sudah mulai hilang euforia-nya.


Tapi, soal kenaikan berat badan pasca lebaran yang tak kunjung hilang, mari kita diskusikan sekarang.




Thursday, May 30, 2019

Membentuk Karakter Bukanlah Seperti Restoran Cepat Saji


Ada dua tipe manusia yang kurang aku sukai, yaitu orang-orang yang tidak mau menjaga kebersihan dan orang-orang yang menutup diri dari kebenaran. 


Orang-orang terdekatku paham, bahwa aku seorang CLEAN FREAK. Iya, persoalan sampah dan rendahnya kesadaran sebagian orang untuk menjaga kebersihan seringkali membuatku terganggu. Padahal, pesan-pesan moral kemanusiaan dan mandat untuk menjaga kebersihan juga menjadi bagian penting isi Al-qur'an. Sayangnya, masih ada orang-orang yang menganggap masalah kebersihan itu bukan bagian dari integral keimanan.









Di ruang tunggu bandara, misalnya. Beberapa kali aku duduk bersebelahan dengan orang yang enggan membuang sampahnya sendiri setelah nyemil atau minum hanya karena buru-buru masuk ruang tunggu. Meskipun bukan urusanku, aku langsung auto bete'. Walaupun ada petugas kebersihan, tapi itu kan sampahnya sendiri. Sesusah itu kah buang sampah di tempat yang semestinya ? Padahal, nggak sulit kok menemukan tempat sampah di ruang tunggu bandara. 


Jangankan ruang tunggu bandara yang jelas-jelas di luar rumah, aku pun sering menemukan orang-orang yang meskipun di rumahnya sendiri, terbiasa menumpuk sampah. Aku menyukai keteraturan, apalagi soal rumah. 


Membuang sampah sembarangan itu faktor KEBIASAAN yang tanpa sadar sering dilakukan. Kebiasaan yang dianggap sepele, tapi menunjukkan bagaimana KARAKTER kita yang sebenarnya. Padahal, sejak SD kita semua sering dicekoki dengan slogan "jangan buang sampah sembarang". Tapi realitanya, slogan itu kerap bertentangan dengan kehidupan kita sehari-hari. Kalo sudah begitu, ya moon maap, Bapak, Ibu, pembentukan karakter memang bukanlah seperti restoran cepat saji. Nggak bisa instan. Membentuk karakter itu butuh proses panjang dan peran serta orang-orang sekitar. Ketika karakter itu sudah terbentuk, biasanya akan sulit diubah. 


Begitu pula orang-orang yang menutup diri dari kebenaran. Intinya, ya, sama. Tapi, sekedar mengingatkan. Barangkali kita lupa. Bahwa kebenaran datang dari Yang Maha Kuasa. Bukan dari pikiran kita. Apalagi menilai kebenaran dan kebaikan seseorang hanya karena ia sudah lama tinggal di dunia. Sehingga kita seringkali abai terhadap perasaan orang-orang yang sebetulnya punya niat baik. Hanya demi menjaga perasaan orang-orang yang kita hormati, orang-orang yang kita anggap benar.


Well... Ketika kita sudah secara otomatis membuang kemasan bekas makanan dan minuman di tempat sampah sesaat sebelum boarding, ketika kita tanpa diperingatkan langsung membawa keluar sampah sisa makanan atau minuman setelah nonton bioskop, ketika kita nggak menyerobot antrean orang lain, ketika kita tidak abai terhadap perasaan orang-orang yang sebetulnya punya niat baik, ketika kita secara sadar melakukan hal-hal sepele yang dianggap nggak penting oleh sebagian orang. Tapi, tetap kita lakukan karena kita sadar itu tindakan yang benar, maka buatku itulah manusia yang berkarakter.


Btw... aku juga bukan orang yang auto benar, siiiih. Tapi, aku punya harapan besar, semoga kita nggak butuh proses yang panjang untuk menyadari. Sebab, sebaik-baiknya manusia yang berkarakter adalah mereka yang benar-benar sadar, memahami, menjalani, dan nggak menutup diri dari kebenaran ~

Tuesday, May 14, 2019

Minimalis itu Tentang Belajar Memaknai Value


Sejak remaja, aku adalah perempuan yang tak suka banyak distraksi. Tak mau punya banyak baju. Tak mau bersusah payah berpikir lama ingin pakai baju apa saat hendak keluar rumah.



Beda cerita dengan sepatu. Dulu aku suka banget berburu sepatu. Udah out of control banget lah. Bagiku saat itu, sepatu nggak hanya sekedar alas kaki, tapi juga investasi. Bahkan aku punya satu lemari khusus yang aku dedikasikan sebagai tempat aman untuk sepatu-sepatuku. Tapi yang sering banget aku pakai ya itu-itu aja. Hingga lama-lama aku sadar bahwa nggak semua sepatu itu terpakai.









Sejak menikah & belajar mengatur hidup, ketertarikanku terhadap sepatu pelan-pelan aku kurangi. Aku mulai mengurangi kegiatan berbelanja sepatu. Mulai menyortir semua sepatu yang ku punya. Berat banget, sis. Karena semuanya masih dalam kondisi baik, terawat dan tersimpan dengan baik. Setelah kegiatan menyortir selesai, aku hubungi seorang teman yang bersedia menyalurkan sepatu-sepatuku pada orang-orang yang tepat : cocok, bersedia memakai dan merawatnya.



Ternyata, ketika aku rela melepaskan koleksi sepatu yang punya history & nilai emosional tersendiri untukku, rasanya jadi lebih ringan & bahagia. Sekarang sepatuku hanya tersisa dua pasang & keduanya adalah sepatu yang benar-benar aku suka.



Menyimpan apa yang paling esensial buatku :)

Monday, April 1, 2019

Memilih Buku


Dulu aku punya kebiasaan membeli buku dengan judge by it's cover. Memilih buku kadang membuat galau kambuh lebih lama daripada memilih sepatu. Apalagi ketika dadakan melipir ke toko buku dan belum punya pilihan ingin beli buku apa. Akhirnya aku hanya berkeliling, mengintip sekilas beberapa buku, dan memilih buku yang akan ku bawa pulang hanya karena covernya menarik. 


Judul dan covernya eye-catching, sinopsisnya menarik, tapi ketika ku baca ternyata kontennya nggak sesuai dengan ekspektasiku. Nggak sesuai dengan seleraku. Begitulah, terkadang buku yang aku suka belum tentu buku yang terjual baik di pasaran dan buku yang banyak diperbincangkan orang belum tentu menyenangkan bagiku.





(Related Post : Review : Saman (Ayu Utami)


Selain mendorong budaya baca, buatku media daring berbasis teks selalu jadi andalan ketika akan memutuskan untuk memilih buku. Ada banyak kanal yang bisa dipilih sebagai referensi :


Wednesday, March 27, 2019

Body Mist dari Brand Lokal yang Aromanya Enak Banget !


Bagiku, orang rapi dan wangi itu menarik. Keluar rumah dalam keadaan rapi dan wangi, selalu bikin level up rasa percaya diri. Memakai parfum atau sekedar body lotion. Membicarakan tentang wewangian, aku termasuk picky soal aroma, sebab wewangian tuh sangat mempengaruhi pikiran dan confident. Suka aroma soft cenderung floral, citrus, oceanic, atau aroma-aroma baby yang nyaman dihidung. 



Tapi, untuk sehari-hari di rumah, aku cukup pakai Body Mist aja. Memang nggak sewangi parfum dan hanya bertahan sementara, tapi priceable banget.